Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memaknai Pernikahan Adik di Tengah Pandemi

2 Maret 2021   08:48 Diperbarui: 2 Maret 2021   08:54 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan(Shutterstock via kompas.com)

Hari Minggu (28/2/2021) kemarin, adik bungsuku menikah. Prosesi pernikahan adikku ini termasuk cepat. Kalau saya tak salah ingat, baru sebulan yang lalu dia dilamar.

Saya sendiri sebagai kakak tertua merasa kaget ketika diberitahu bahwa adikku ini akan dilamar. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saya tertegun mendengar berita itu. Serasa tak percaya mendengarnya.

Meskipun kaget, pastinya saya bahagia mendengar berita ini. Anak perempuan satu-satunya di keluarga kami ini, dan hanya tinggal dia yang belum menikah, akhirnya bertemu juga dengan jodohnya.

Ada sedikit kekhawatiran karena saya tak mengenal siapa calon suami adik saya itu, tetapi saya percaya dengan pilihannya itu. Apalagi orangtua saya juga sudah mengenalnya dan merestuinya, pastinya mereka telah melihat dan mempertimbangkannya juga.

Momen Sakral yang Terlewatkan

Ya, waktu memang berjalan sangat cepat. Rasanya baru kemarin adikku itu menyelesaikan studinya, tiba-tiba sekarang sudah mau menikah. Mungkin karena saya tinggal jauh darinya sehingga tak begitu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya sehari-hari.

Mungkin karena saya tinggal jauh dari rumah juga yang menyebabkan saya tertinggal untuk mengetahui berita baik ini. Mungkin hal ini sudah direncanakan sejak lama. Mungkin orangtuaku juga sudah mengetahui semuanya. Saya yang tinggal jauh, rasanya wajar saja jika ketinggalan topik pembicaraan hangat di keluarga ini.

Ya, saya memang tinggal di seberang pulau sejak empat tahun yang lalu. Saya hanya bisa pulang kampung ketika libur panjang lebaran tiba. Di hari libur lain, saya dan keluarga biasanya tidak pulang. Faktor efisiensi waktu dan biaya menjadi pertimbangannya.

Namun, khusus lebaran tahun lalu saya dan keluarga sama sekali tak bisa pulang. Pandemi yang melanda negara kita membuat kami mengurungkan niat untuk pulang kampung. Demi keselamatan, kami memilih untuk tinggal di rumah dan berlebaran bersama tetangga dekat sekitar saja.

Jika mau dihitung, hampir dua tahun sudah kami tak pulang kampung untuk berliburan. Pandemi yang masih belum usai memaksa kami untuk tidak melakukan perjalanan jauh. Bahaya virus yang masih mengintai membuat kami harus terus bersabar menunggu momen yang tepat untuk bisa pulang.

Mungkin, acara pernikahan adik saya ini bisa menjadi momen yang tepat untuk kami pulang. Momen yang tepat untuk kami melepas kerinduan bertemu keluarga dan kerinduan untuk kembali ke kampung halaman.

Namun, takdir berkata lain. Pandemi yang masih terus meningkat, waktu yang kurang tepat, dan kondisi kesehatan keluarga membuat saya harus kembali mengurungkan niat untuk bisa pulang dan mengikuti acara pernikahan adik saya. Momen sakral itu pun terlewatkan, sama seperti momen-momen penting lainnya yang banyak telah saya lewatkan di setahun belakangan.

Sedih memang tak bisa hadir di momen sakral adik saya ini. Sedih memang tak bisa menemani orangtua melepas putri satu-satunya menuju pelaminan. Sedih memang tak bisa berkumpul melepas rindu dengan seluruh keluarga besar. Namun, semua ini mengajarkan saya untuk bersabar.

Kesabaran Kunci Kebahagiaan

Bukankah selama pandemi ini kita selalu diajarkan untuk bersabar. Bersabar untuk tidak keluar rumah. Bersabar untuk selalu menerapkan protokol kesehatan. Bersabar untuk menjaga jarak. Bersabar untuk menghindari kerumunan. Bersabar dalam rangka menekan angka penyebaran covid-19.

Di masa pandemi ini seharusnya kita telah menjadi seorang ahli sabar. Seorang ahli sabar yang memahami makna terdalam dari kesabaran. Kesabaran yang menuntut kita untuk tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu. Kesabaran yang mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan. Kesabaran yang lebih mendewasakan kita sehingga bisa berpikir lebih rasional dan tidak emosional.

Mungkin keluarga besar saya kecewa dengan keputusan yang saya ambil untuk tidak datang ke acara pernikahan adik saya. Namun, inilah keputusan rasional yang bisa saya ambil saat ini. Mau tak mau, suka tak suka, saya akhirnya mengenyampingkan perasaan emosional saya sebagai seorang kakak yang pastinya ingin hadir di hari bahagia adiknya.

Lagi-lagi kesabaran yang menjadi pegangan saya. Kesabaran yang sebenarnya sulit untuk saya lakukan. Keasabaran yang membuat saya mengambil keputusan yang tak mudah. Namun saya sangat yakin kesabaran ini akan membawa keindahan dan kebahagiaan kelak pada waktunya.

Kapan kebahagian itu akan datang? Kapan pandemi ini akan usai? Hanya Tuhan yang tahu kapan itu akan datang dan terjadi. Kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan hanya bisa berusaha mewujudkannya sebisa mungkin dan berdoa untuk segala sesuatunya agar bisa kembali normal dengan segera. Itulah harapan besar yang terus terjaga nyalanya di dalam benak kita semua.

Pada kesempatan ini, saya ingin memanjatkan doa untuk adik saya dan suaminya, semoga Tuhan memberikan keberkahan atas pernikahan kalian. Semoga kalian bisa mengarungi bahtera rumah tangga dengan penuh ketenangan, ketentraman, kedamaian, kebahagian, penuh rasa cinta dan kasih sayang.

Pesan saya untuk kalian adalah untuk selalu mengarungi rumah tangga dengan mengedepankan kesabaran. Kesabaran yang mengedepankan sikap rasional, bukan emosional. Kesabaran yang akan menjadi kunci pembuka kebahagiaan dalam rumah tangga kalian. Percayalah, dengan kesabaran segala sesuatunya akan menjadi indah kedepannya.

Hanya doa dan pesan itu yang bisa saya berikan sebagai kakak. Maafkan kakakmu ini yang belum bisa menjadi kakak yang bisa memberikan teladan yang terbaik untuk kalian.

Alhasil, pernikahan adik di tengah pandemi adalah rangkaian peristiwa yang sekali lagi mengajarkan saya tentang kesabaran. Namun, yang lebih penting lagi dari itu semua adalah bagaimana saya bisa memaknai kesabaran dengan lebih mendalam. Bagaimana saya bisa memahami kesabaran yang hakiki.

Kesabaran hakiki untuk tetap bisa menjalankan segala perintah Tuhan dan menjauhi segala laranganNya. Kesabaran hakiki dalam menghadapi musibah pandemi ini. Kesabaran hakiki dalam menghadapi dan berada di dalam kedahsyatan zaman. Inilah sejatinya yang perlu kita perhatikan.

[Baca Juga: Kerumunan NTT, tentang Monitor, Kontrol, dan Evaluasi]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun