Seminggu terakhir ini diskursus publik di media massa dan sosial diramaikan dengan perdebatan tentang kerumunan masyarakat yang terjadi di Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Yang menjadikan hal ini begitu menarik perhatian publik adalah kerumunan yang terjadi disebabkan karena kedatangan Presiden Jokowi yang notabenenya adalah seorang kepala negara.
Memang kepala negara semestinya menjadi teladan teratas dan influencer terdepan dalam rangka penanganan pandemi terkait dengan protokol kesehatan.
Selain itu, diskursus ini juga dilatarbelakangi oleh kasus kerumunan yang akhirnya menyeret Habib Rizieq Shihab (HRS) untuk masuk ke tahanan.
Terjadi perdebatan pada ruang publik, apakah kedua kasus tersebut serupa? Apakah Presiden Jokowi telah melakukan pelanggaran protokol kesehatan seperti halnya yang dituduhkan ke HRS?
Perdebatan Masyarakat
Ada sebagian masyarakat yang dengan tegasnya mengatakan Presiden Jokowi telah melanggar aturan protokol kesehatan. Apalagi ketika kejadian Presiden keluar melalui sunroof mobilnya dan membagikan hadiah kepada masyarakat yang berkerumun.
Logikanya, jika ada pembagian hadiah, orang-orang pastinya akan berdatangan berkerumun mengharapkan keberuntungan untuk mendapatkannya.
Di sisi lain, sebagian masyarakat mengatakan bahwa Presiden Jokowi tidak melanggar aturan protokol kesehatan. Kerumunan masyarakat tersebut disebabkan karena spontanitas dan antusiasme warga yang ingin melihat dan bertemu dengan presidennya.
Selain itu, tujuan Presiden Jokowi keluar dari sunroof mobil dan membagikan hadiah ke masyarakat justru untuk mengurai kerumunan. Ketika itu, Presiden Jokowi terlihat mengajak masyarakat memakai masker, bahkan isi hadiah yang diberikan salah satunya adalah masker.
Argumen spontanitas dan antusiasme warga ini juga yang digunakan untuk membedakan kasus kerumunan ini dengan kasus kerumunan HRS yang dianggap telah mengundang kerumunan. Spontanitas atau undangan inilah yang diperdebatkan.
Di luar perbedaan pendapat apakah Presiden Jokowi melanggar protokol kesehatan atau tidak, ada pejabat negara yang lebih melihat hal ini dengan kepala dingin.
Diberitakan kompas, Rabu (24/2/2021), anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay menilai, pihak protokoler kepresidenan harus dievaluasi menyusul adanya kerumunan warga saat Presiden Joko Widodo mengunjungi Maumere, Nusa Tenggara Timur, Selasa (23/2/2021). Dalam hal ini, beliau tak menyalahkan Presiden, tetapi protokoler kepresidenan.
Monitor, Kontrol, dan Evaluasi
Membaca ini saya teringat webinar manajemen perencanaan yang saya ikuti kemarin. Dalam webinar tersebut saya mendapatkan tiga hal baru yang penting terkait perencanaan sesuatu, yaitu monitor, kontrol, dan evaluasi.
Ketiga hal ini bisa dilihat ketika dilakukan implementasi sebuah perencanaan. Ketiga hal tersebut biasanya dipahami sama oleh masyarakat. Padahal, jika mau ditilik lebih jauh ketiganya memiliki perbedaan yang sangat fundamental.
Saya memahami ketiganya sebagai sebuah tahapan.
Tahapan pertama, monitor. Dalam tahapan monitor kita membandingkan apa yang sedang terjadi dengan apa yang kita harapkan dari perencanaan yang telah kita buat.
Tahapan kedua, kontrol. Dalam tahapan kontrol terjadi aksi perbaikan (corrective action) jika terasa perencanaan yang kita buat tidak berjalan dengan baik.
Tahapan ketiga, evaluasi. Dalam tahapan evaluasi terjadi refleksi keseluruhan dari perencanaan. Perencanaan dievaluasi apakah benar-benar sudah tercapai sesuai dengan harapan. Evaluasi ini digunakan untuk membuat perencanaan selanjutnya.
Dalam konteks kerumunan di Maumere, sekarang memang seharusnya sudah ada pada tahap evaluasi. Di dalam evaluasi ini seharusnya juga diungkap apakah dalam pelaksanaan protokoler kepresidenan kala peristiwa itu terjadi sudah ada monitor dan kontrol yang dilakukan atau belum.
Menurut argumen saya, monitor dan kontrol sudah dilakukan. Protokoler kepresidenan pastinya sudah membaca terjadinya kerumunan warga yang berpotensi melanggar protokol kesehatan. Hal ini tidak sesuai dengan perencanaan sebelumnya. Dalihnya adalah adanya spontanitas dan antusiasme masyarakat.
Lantas, kemudian dilakukan tindakan perbaikan (corrective action) untuk mengontrol kerumunan dengan cara Presiden Jokowi keluar darisunroof mobil dan membagikan hadiah dengan harapan kerumunan akan terurai.
Entah benar atau tidak argumen saya ini? Jika pun benar, apakah tindakan monitor dan kontrol yang dilakukan sudah tepat? Hanya protokoler kepresidenan yang berhak untuk mengevaluasinya. Sejatinya, jika monitor dan kontrol dilakukan dengan baik, pastinya perencanaan akan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Alhasil, ada baiknya kita merenung kembali sudah sejauh mana penanganan pandemi covid-19 di negara kita saat ini? Mengapa rakyat masih berani mengambil resiko menantang covid-19 dengan datang berkerumun hanya untuk bertemu Presiden ataupun menerima hadiah? Siapa yang semestinya bertanggung jawab akan hal ini, pemerintah atau rakyatnya?
[Baca Juga: Menggunakan Interpretasi untuk Menciptakan Karya Tulis Ilmiah Populer]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H