Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Altruisme, Bukan Egoisme

12 Februari 2021   18:00 Diperbarui: 12 Februari 2021   18:02 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Altruisme dan egoisme adalah dua kata yang memiliki arti yang berkonotasi. Altruisme artinya melakukan sesuatu untuk orang lain dengan mengorbankan diri sendiri, sedangkan egoisme artinya melakukan sesuatu untuk diri sendiri dengan mengorbankan orang lain.

Ditinjau dari asal kata, kata altruisme berasal dari bahasa Latin "alteri" yang memiliki arti "orang lain." Berabad-abad para filsuf memperdebatkan apakah altruisme itu adalah berkaitan dengan konsep konsistensi diri sendiri (self-consistent) yang sebenarnya mengarah kepada egoisme atau itu benar-benar terkait dengan altruisme murni (pure altruism) yang sesuai dengan arti katanya.[1]

Hal ini bisa kita pahami dari contoh permisalan berikut. Misalnya saja jika Anda membantu seorang pengemis, terjadi perdebatan apakah Anda melakukannya karena kasihan atas kondisi si pengemis (pure altruism), atau karena Anda melakukannya untuk diri Anda sendiri yang merasa kasihan melihat pengemis (self-consistent).

Jika kita perhatikan, pada contoh tersebut ada dimensi kesenangan intrinsik (intrinsic pleasure) pada seseorang yang mengesampingkan dorongan bagi dirinya melakukan sesuatu untuk orang lain. Hal inilah yang membuat makna altruisme menjadi terdistorsi kemurniannya. Terjadi pergumulan, apakah altruisme atau egoisme yang terjadi sebenarnya.

Dualisme pemahaman terkait altruisme dan egoisme juga memunculkan beberapa konsep berbeda di kalangan para filsuf. Ada yang mengatakan bahwa keduanya bisa dilebur dengan menggunakan konsep asosiasi. Artinya, altruisme dan egoisme muncul secara bersamaan.

Ada juga yang menggunakan konsep sudut pandang kuantitatif. Artinya, kita memandang orang lain sebagai bagian terbesar dari dunia emosional diri kita sendiri. Dengan demikian, sebanyak mungkin kebahagiaan pada orang lain akan mendatangkan kebahagiaan pada diri kita sendiri.

Ada juga yang menggunakan konsep simpati. Artinya, kemampuan manusia untuk berbagi perasaan dengan orang lain. Bahkan untuk sekedar mengidentifikasinya bisa memberikan sesuatu yang menyenangkan, menyegarkan, dan berkontribusi pada kesejahteraan manusia secara keseluruhan.

Terlepas dengan perdebatan dualisme altruisme dan egoisme, ada beberapa sudut pandang lain terkait altruisme. Satu diantaranya adalah para filsuf mengasosiasikan altruisme dengan kemanusiaan (humanity). Kemanusiaan berhubungan dengan rasionalitas manusia dan etik kemanusiaan. 

Hal ini juga sejalan dengan pemahaman lain yang mengatakan bahwa altruisme itu adalah sebuah "hukum moral" (moral law) yang ditentukan oleh pikiran dan kekuatan kecerdasan manusia. Dengan adanya pemahaman ini maka seseorang akan selalu menempatkan kemanusiaan itu sebagai alat dan tujuan.

Misalnya saja, jika Anda harus memberikan kesaksian di pengadilan terkait kejahatan yang dilakukan saudara kandung Anda, mungkin terbersit dalam pikiran Anda untuk memberikan kesaksian palsu untuk menyelamatkan saudara kandung Anda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun