Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Banjir Kalsel, Memaknai Bencana sebagai Anugerah dan Musibah

21 Januari 2021   06:19 Diperbarui: 21 Januari 2021   06:45 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir melanda Kabupaten Banjar, Kalsel (ANTARA FOTO/BAYU PRATAMA S via kompas.com)

Kemarin (Rabu, 20/1/2021), saya dan tim dari sekolah melakukan penyaluran sumbangan kepada warga terdampak banjir di kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan (Kalsel). Sejak terjadinya bencana banjir, OSIS sekolah kami merespon cepat dengan menggalang donasi. 

Tak banyak yang kami kumpulkan memang, tetapi jumlah bukan menjadi tujuan kami. Yang lebih penting penggalangan dana ini bisa menjadi pembelajaran moral bagi para siswa. Pembelajaran akan pentingnya saling tolong-menolong, menumbuhkan rasa simpati dan empati kepada sesama.

Secara umum, kemarin banjir di Kalsel sudah memasuki hari ke-7. Meskipun di kabupaten Banjar beberapa hari ini cuaca bisa dibilang bersahabat, tetapi belum ada tanda-tanda genangan air akan surut dengan segera.

Kami berencana mengirimkan bantuan ke salah satu desa terpencil yang masih terdampak banjir yang sangat dalam. Menurut informasi salah satu alumni kami yang tinggal di desa tersebut, bantuan belum banyak sampai menyentuh desanya. Mungkin karena akses yang sulit ditempuh.

Karena sulitnya medan, kendaraan tidak bisa sampai ke lokasi. Untuk mengirimkan bantuan ke lokasi, kita harus menggunakan transportasi air, orang banjar menyebutnya jukung (perahu kecil terbuat dari kayu). 

Bencana Sebagai Sunatullah

Desa itu memang sudah benar-benar terkepung banjir. Bicara tentang terkepung banjir, ada sebuah syair karya penyair sufi asal Turki Yunus Emre yang berbunyi, "Jalan ini panjang. singgahannya banyak, tak ada jalan keluar, dan terkepung oleh air bah yang dalam."

Syair ini memiliki makna yang dalam tentang bencana dan musibah yang menimpa manusia. Maknanya, bencana adalah sebuah ujian yang diterima manusia.

Ulama dan intelektual Muhammad Fethullah Gulen pernah berkata, "Sunnatullah mengharuskan manusia menghadapi berbagai ujian dan musibah dalam hidupnya. Ujian yang bisa membedakan antara manusia yang baik dan yang buruk. Sebagaimana mengekstrak intan dari batubara, emas dari batuan dan tanah."

Lebih jauh Gulen menjelaskan bahwa dengan adanya bencana, Tuhan ingin menunjukkan dan menampakkan kepada kita sesuatu yang telah Dia ketahui dengan Ilmu-Nya di zaman Azali, bagaimana sosok sebenarnya dari kita. Apakah kita tergolong manusia yang bersabar dan bertahan atas bencana tersebut, ataukah kita termasuk mereka yang mengeluh dan menentang ketetapan Allah?

Memaknai Bencana

Lantas bagaimana pandangan Gulen untuk memaknai sebuah bencana yang terjadi?

Pertama, kita harus memaknainya sebagai anugerah yang berbentuk musibah. Artinya, sebagaimana ibadah itu bisa mengangkat derajat manusia, begitu juga musibah. Musibah dikenal dengan "Ibadah Salbiyah" atau "Ibadah Pasif". 

Barang siapa yang menjalaninya dengan sabar, maka hal tersebut berdampak pada dihapuskannya kesalahan dan dosa dari catatan amal perbuatannya.

Kedua, kita harus memaknainya sebagai musibah yang berbentuk anugerah. Artinya, kehidupan manusia selalu diliputi dengan ujian, tantangan dan musibah sepanjang hidupnya. Namun bentuk musibah tidak selalu berupa bencana, bisa jadi musibah tersebut datang dalam bentuk anugerah.

Cerita imajiner diambil dari buku Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali yang menceritakan seorang manusia yang tertipu daya dengan dunia, rasanya sangat tepat untuk memahami poin ini.

Diceritakan seorang manusia sedang menempuh jalan dengan penuh semangat menuju sebuah negara yang ia dengar begitu elok dan indah. Di tengah perjanannya, ia mendapati sebuah tempat yang nyaman, dengan suara gemericik air sungai, pepohonan rindang di kanan dan kiri, serta suara-suara burung yang bercericit. 

Tatkala itu ia lupa akan negara yang hendak ditujunya. Ia bahkan memutuskan untuk menetap di tempat itu dengan mendirikan rumah. Dan ia tidak pernah sampai pada tujuan awalnya.

Begitulah manusia yang selalu tertipu daya. Manusia tak menyadari bahwa anugerah yang diberikan kepadanya bisa menjadi musibah jika mereka lupa terhadap tujuan utamanya.

Ketiga, kita harus memaknai bencana yang sesungguhnya. Allah swt. berfirman dalam Al-Qur'an, "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang." (QS. Ali Imran ayat 14).

Itulah bencana sesungguhnya, ketika kesenangan hidup di dunia, segala kenikmatan nafsu, cinta kepada pangkat, jabatan dan kedudukan, yang dimiliki secara berlebihan oleh manusia.

Ya, bencana memang terjadi atas kehendak Tuhan, tetapi terkadang manusia tak memahami hikmah di dalamnya. Tekadang manusia mengeluh, merasa Tuhan tidak adil mengirimkan bencana kepada orang-orang yang tak berdosa.

Padahal, bencana dimaknai bencana hanya dari perspektif manusia saja. Jika kita renungi lebih dalam dan bisa melihatnya dari perspektif lain, mungkin bencana akan bermakna anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita.

Alhasil, bencana banjir yang sedang terjadi di Kalsel adalah takdir dari Tuhan. Tentunya suatu bencana juga terjadi karena faktor alam dan manusia sebagai sebab atau wasilah. Pasti selalu ada hikmah yang bisa kita petik dari bencana ini.

Kini, saatnya kita mengubah bencana banjir yang menimpa  menjadi sebuah anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita dengan bersabar. Sebaliknya, jangan sampai anugerah dan berbagai kenikmatan yang diberikan Tuhan kepada kita justru menjadi sebuah musibah dalam kehidupan kita, baik di dunia maupun di kehidupan kelak yang kekal dan abadi.

[Baca Juga: Harap-harap Cemas Bencana Banjir di Kalsel]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun