Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Banjir dan Rebahan

15 Januari 2021   07:02 Diperbarui: 15 Januari 2021   07:20 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam kemarin (Kamis, 14 Januari 2021) saya tidak bisa tidur nyenyak. Udara yang dingin dan hujan deras disertai angin kencang mengganggu tidur saya. Merebahkan badan pun menjadi tidak nyaman.

Baru sekitar tengah malam saya bisa memejamkan mata. Itupun saya harus terbangun beberapa kali karena mendengar deru angin beserta air hujan yang sangat kencang berdesir memukul jendela kamar kami.

Tiba-tiba handphone saya bergetar, ada panggilan masuk. Waktu menunjukkan sekitar pukul 03:30. Dalam hati, saya berpikir, "siapa gerangan di pagi buta seperti ini menelepon. Pasti ada sesuatu yang mendesak."

Banjir Melanda

Setelah saya cek ternyata seorang rekan sejawat guru yang menelepon. Ternyata, rekan saya ingin menanyakan perihal apakah terjadi banjir di rumah saya, karena di rumah rekan saya itu air sudah mulai masuk ke dalam teras.

Rumah kami memang bisa dibilang dekat, wajar jika rekan saya itu juga khawatir, takutnya saya tidak sadar ada air yang masuk ke dalam rumah. Lalu, saya bangun dan cek halaman depan rumah. Saya bersyukur, air hujan masih terkendali di sekitar rumah saya.

Setelah itu, saya tak bisa tidur lagi. Ketika saya cek grup wa sekolah kami, ternyata ada laporan beberapa guru yang rumahnya kebanjiran. 

Paginya, berita kebanjiran menghiasi status rekan-rekan guru, para siswa, orang tua dan kenalan-kenalan saya di Banjar. Ada beberapa di antaranya yang harus mengungsi karena rumahnya sudah tidak memungkinkan lagi untuk ditinggali. Di beberapa daerah, air sudah setinggi dada orang dewasa.

Selama hampir 4 tahun saya tinggal di Banjar, baru kali ini saya merasakan hujan yang begitu deras yang turun hampir tak berhenti dua hari belakangan. Menurut rekan sejawat yang sudah bertahun-tahun tinggal disini, bencana banjir besar terakhir kali terjadi pada tahun 2006.

Biasanya, yang kami alami setiap tahun adalah bencana asap, akibat kebakaran hutan. Tahun 2020 kemarin hampir bisa dikatakan tak ada asap yang terasa. 

Daerah kami memang termasuk daerah gambut, yang memang mudah terbakar. Dan ternyata daerah gambut juga menyebabkan air mudah tergenang, jadilah bencana banjir seperti yang kami rasakan sekarang.

Melihat bencana yang terjadi, tak banyak yang bisa kami lakukan. Hujan yang terus turun dan genangan air yang terus naik membuat kami terkepung. Dimana-mana jalan ditutup, mau kemana-mana menjadi susah.

Mungkin hanya uluran tangan berupa penggalangan donasi yang bisa kami lakukan untuk saudara-saudara kami yang rumahnya harus tenggelam. Sedangkan untuk membantu secara langsung dengan turun ke lapangan mungkin sulit untuk kami lakukan. 

Biarlah kami percayakan hal ini kepada pihak terkait yang kompeten dan berwenang. Yang bisa kami lakukan hanya mendoakan.

Menyoal Rebahan

Di sisi lain, sekolah mengambil keputusan cepat. Karena darurat bencana banjir, sekolah diliburkan 3 hari sampai hari sabtu besok. Sebuah keputusan yang bijak ditengah bencana yang membuat para guru dan siswa terdampak.

Dipaksakan melanjutkan kegiatan belajar mengajar pun tidak akan maksimal. Di beberapa daerah listrik dipadamkan. Karena pembelajaran masih secara daring, otomatis akan banyak siswa yang tidak akan bisa mengikuti pembelajaran.

Karena sekolah diputuskan libur, jadilah saya harus berpikir keras mengisi waktu selama tiga hari kedepan. Mengisi waktu dengan hanya sekedar rebahan, bermalas-malasan dan hanya berleha-leha di rumah terasa tak bijak untuk dilakukan. 

Ulama dan intelektual Muhammad Fethullah Gulen pernah berkata, "Seseorang yang meninggalkan dirinya dalam kemalasan tentunya pasti akan membusuk dan lenyap, sebagaimana air yang tidak mengalir dan kotor."

Artinya, bermalas-malasan itu bahaya, bisa membusukkan diri. Sesuatu yang busuk pastinya tidak akan ada manfaatnya, bahkan bisa membahayakan karena racun yang dikeluarkan.

Dalam kehidupan, rebahan, berleha-leha, bermalas-malasan disebabkan karena adanya kenyamanan. Seseorang yang sudah masuk ke zona nyaman, malas untuk bergerak, cenderung untuk stagnan. Akhirnya tak ada keinginan untuk melakukan proses pengembangan diri.

Padahal, manusia hidup itu harus berkembang. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. 

Nabi bersabda, "Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah orang yang beruntung, siapa yang hari ini keadaannya sama dengan kemarin maka dia rugi, siapa yang keadaan hari ini lebih buruk dari kemarin, maka dia celaka."

Oleh karenanya, manusia harus terus bergerak secara dinamis menuju pengembangan dan perbaikan. Semua dilakukan dengan terus berproses di dalam kehidupan. Proses yang dilakukan itulah yang menandai kehidupan seseorang.

Namun, kedinamisan dalam berproses juga memerlukan arahan dan koridor yang benar. Jika tidak, kedinamisan dalam berproses juga tidak akan membawa kemaslahatan.

Misalnya saja dalam konteks bencana banjir. Banjir adalah air yang mengalir. Sejatinya, air yang mengalir itu baik, suci dan mensucikan. Kebalikannya, air yang tak mengalir itu busuk, kotor, dan sumber penyakit.

Namun, ketika air yang mengalir berlebihan dan tidak mengalir di arah dan koridor yang benar, maka bencana banjir yang terjadi. Seperti yang kami alami saat ini.

Alhasil, musibah banjir adalah hukum alam yang merupakan sebab-akibat yang terjadi atas kehendak Tuhan. Kita harus menerimanya dengan lapang dada, dan tak elok untuk berkeluh kesah.

Namun, itu bukan berarti kita harus rebahan dan bermalas-malasan saja, justru seharusnya kita terpanggil untuk mempelajari hukum alam, memahami sebab-akibat terjadinya banjir ini. 

Ketika kita melakukannya, kita akan menyadari betapa lemahnya, betapa kecilnya, dan betapa tidak sempurnanya kita di hadapan keagungan Tuhan Yang Maha Esa.

[Baca Juga: Ketika Siswa Mendapatkan Nilai Kurang Baik Menjadi Tamparan Kasih Sayang Bagi Guru]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun