Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Membuat Pertanyaan Guru kepada Siswa Lebih Bermakna

27 Desember 2020   09:14 Diperbarui: 27 Desember 2020   13:32 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustarasi guru bertanya kepada siswa (DOK. TANOTO FOUNDATION/SASHA via kompas.com)

Jika Anda seorang guru, kiranya Anda pernah mengalami kondisi dimana tak ada satu siswa pun yang menjawab pertanyaan yang anda lontarkan. Ketika ini terjadi, apa yang Anda rasakan? Bingung, kaget, atau kesal?

Pastinya semua campur aduk. Anda pun akan bertanya-tanya, mengapa ini terjadi? Apa yang salah? Apa yang harus saya lakukan? Apakah saya harus mengulang pertanyaan atau mengubah pertanyaan untuk bisa mencairkan suasana?

Keterlibatan Siswa dalam Pembelajaran
Dalam ilmu pendidikan, hal ini terjadi karena kurangnya keterlibatan siswa (student engagement) dalam pembelajaran. Konsep keterlibatan siswa dalam pembelajaran didasari oleh pemahaman tentang keaktifan siswa untuk ikut berkontribusi di dalam pembelajaran. Baik dengan bertanya atau menjawab pertanyaan.

Keterlibatan siswa dalam pembelajaran sangat penting dilakukan untuk membuat pembelajaran lebih bermakna, membuat siswa lebih fokus dan termotivasi dalam belajar, dan membuat pembelajaran lebih berjalan efektif.

Tentunya, membuat siswa aktif terlibat dalam pembelajaran tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu perencanaan skenario pembelajaran yang tepat dan perlu dipikirkan matang-matang. Guru harus benar-benar bisa membaca dan memahami keadaan siswa sehingga guru bisa melakukan hal yang tepat untuk membangun keterlibatan siswa di kelas.

Terkadang, guru bisa saja salah kaprah memahami keterlibatan siswa. Karena proses keterlibatan siswa biasanya banyak digunakan sebagai pembuka pembelajaran, maka banyak guru yang terlena, memahami proses keterlibatan siswa hanya perlu dilakukan di awal pembelajaran saja. Padahal seharusnya, proses keterlibatan siswa dilakukan selama pembelajaran berlangsung.

Banyak sekali cara dan teknik yang bisa dilakukan untuk membuat siswa lebih terlibat dalam pembelajaran. Misalnya, guru bisa merancang kegiatan pembelajaran berbasis permainan, merancang kegiatan yang membuat siswa lebih aktif bergerak, ataupun sekedar berbincang santai untuk membuat pembelajaran lebih cair dan menyenangkan.  

Teknik Bertanya dalam Mengajar
Salah satu teknik yang sering digunakan untuk meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran adalah teknik bertanya. Teknik bertanya didefinisikan sebagai isyarat atau rangsangan instruksional yang digunakan untuk menyampaikan kepada siswa elemen konten pembelajaran yang akan dipelajari dan memberikan arahan tentang apa yang harus mereka lakukan (Astrid. dkk, 2019)[1]. 

Dari definisi ini, dapat kita pahami bahwa teknik bertanya adalah salah satu teknik yang mengedepankan pembelajaran yang berpusat kepada siswa. 

Lebih jauh Astrid.dkk menjelaskan ada empat alasan mengapa para guru menggunakan strategi bertanya dalam pembelajaran, yaitu untuk mengingat kembali pemahaman siswa, menarik perhatian siswa, mengembangkan kemampuan berpikir siswa di tingkat yang lebih tinggi, dan melibatkan siswa dalam isi pelajaran.

Selain itu, dalam menggunakan teknik bertanya, guru harus mampu menggunakan strategi bertanya yang baik. Strategi bertanya adalah salah satu alat penting untuk memperluas pembelajaran siswa yang dapat membantu guru mengembangkan strategi mereka sendiri untuk meningkatkan performa belajar dan pemahaman siswa (Guest, 1985).[2] 

Guru yang memahami strategi bertanya yang baik, bisa menyesuaikan cara dan bentuk pertanyaan yang akan diberikan kepada siswa. Seperti yang telah dijelaskan oleh Richards dan Lockharts (1994), ada tiga jenis pertanyaan yang bisa dilakukan. [3]

Pertama, pertanyaan prosedural dimana pertanyaan-pertanyaan biasanya muncul di kelas saat guru memeriksa tugas yang diberikan. Ini dilakukan ketika tugas tersebut telah diselesaikan siswa. Guru memastikan bahwa instruksi yang diberikan untuk mengerjakan tugas jelas dan dipahami siswa, dan siswa siap untuk mendapatkan tugas yang baru. 

Kedua, pertanyaan konvergen yang membutuhkan jawaban "ya" atau "tidak" atau pernyataan singkat. Jenis pertanyaan ini, biasanya digunakan untuk mengkonfirmasi. Jenis pertanyaan ini bisa diberikan kapan saja dan kepada siapa saja yang ada di kelas.

Ketiga, pertanyaan divergen yang mendorong tanggapan siswa yang bukan merupakan jawaban singkat dan yang menuntut siswa untuk terlibat dalam pemikiran tingkat tinggi (higher order thinking skills).

Menurut McComas dan Abraham (2005), jika Anda ingin siswa Anda mengingat kembali dan mengulang pengetahuan tertentu, ajukan pertanyaan konvergen tingkat rendah dalam taksonomi Bloom. Namun, jika Anda ingin melihat apakah siswa memahami dan dapat mentransfer pengetahuan, maja ajukan pertanyaan divergen.[4]

Teknik Bertanya Menurut Taksonomi Bloom 
Salah satu hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan teknik bertanya dalam pembelajaran adalah Taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom diterapkan selaras dengan konsep Differentiated Instruction (DI) di dalam pendidikan. 

Seorang ahli pedagogi Tomlinson pernah mengatakan bahwa perbedaan dalam pendidikan berarti memberikan kesempatan siswa untuk mengambil informasi dengan berbagai cara (Tomlinson, 1999).[5]

Dengan cara ini guru dituntut untuk menjadi seorang konduktor orkestra. Seperti halnya seorang konduktor orkestra, guru harus mampu memaksimalkan semua siswanya untuk bisa menjadi yang terbaik.

Dalam konteks pedagogis, tingkat proses kognitif siswa dapat diidentifikasi dengan bertanya beberapa pertanyaan yang mewakili berbagai tingkat pemrosesan kognitif individu.

Ini berarti guru harus mampu memaksimalkan potensi siswanya dengan menerapkan teknik bertanya secara individu berdasarkan taksonomi Bloom sehingga guru bisa bertanya dengan pertanyaan yang tepat dan kepada siswa yang tepat.

Bloom (1956) mengusulkan taksonomi hierarkis tentang bagaimana berbagai "pertanyaan" diproses dalam pikiran. Taksonomi Bloom menggambarkan proses berpikir siswa untuk terlibat dalam enam tingkatan sebagai berikut: mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta.[6]

Tingkat "Mengingat" mewakili tingkat berpikir terendah ketika proses pembelajaran terjadi. Pada level ini, siswa mengingat, mengulang dan menghafal informasi. Pertanyaan yang bisa diajukan pada tingkat ini, "Apakah ini? Bisakah Anda menjelaskan kembali? Bisakah Anda menunjukkan kembali?"

Dalam tingkat kedua, siswa menjelaskan, menafsirkan, dan memparafrasekan informasi, di mana mereka sudah mengetahui informasi dasar sehingga mereka memiliki kemampuan menggunakan kata-kata mereka sendiri untuk memparafrasekan dan menjelaskannya. Pertanyaan yang bisa diajukan pada tingkat ini, "Fakta atau ide apa yang menunjukkan ...? Bisakah Anda menjelaskan apa yang terjadi ...?"

Selanjutnya siswa dapat mengaplikasikan informasinya dalam situasi nyata untuk menyelesaikan masalah. Mengidentifikasi koneksi dan hubungan serta cara penerapannya sangat penting dalam langkah ini. 

Pertanyaan yang bisa diajukan pada tingkat ini, "Apa akibatnya jika...? Fakta apa yang akan Anda pilih untuk ditunjukkan...? Pendekatan apa yang akan Anda gunakan untuk...? Bagaimana Anda akan menggunakan..?"

Dalam langkah selanjutnya analisis, siswa membandingkan, membedakan, mengklasifikasikan, mengkategorikan, dan mendapatkan apa yang mereka pelajari dengan informasi lain atau pengalaman lain. 

Pertanyaan yang bisa diajukan pada tingkat ini, "Apa yang bisa Anda simpulkan ...? Apa hubungan antara...? Bukti apa yang bisa kamu temukan...? Hal-hal apa yang membenarkan..?"

Kemudian pada tingkat selanjutnya, siswa melakukan penilaian dan pengambilan keputusan tentang situasi atau pengalaman nyata. Seperti yang diungkapkan Bloom, pada tingkat kognitif ini, siswa dapat mengevaluasi informasi dan merekomendasikan tentang bagaimana mereka dapat meningkatkan hal-hal di tingkat kritis tertinggi berpikir (critical thinking). 

Pertanyaan yang bisa diajukan pada tingkat ini, "Bagaimana Anda bisa memilih? Bagaimana Anda bisa membuktikan? Bagaimana Anda memprioritaskan? Informasi apa yang akan Anda gunakan untuk mendukung?"

Dan akhirnya, siswa mensintesis, membuat, menemukan, memprediksi, membangun, merancang, membayangkan, meningkatkan, memproduksi, dan mengusulkan pengalaman baru berdasarkan pengalaman mereka pada langkah sintesis ini. 

Pertanyaan yang bisa diajukan pada tingkat ini, "Apa yang bisa diubah untuk meningkatkan? Bagaimana Anda menguji...? Cara apa yang akan Anda rancang ...? Hasil apa yang akan kamu prediksi untuk?"

Ketika guru memperhatikan keenam tingkatan kognitif siswa berdasarkan taksonomi Bloom dan mampu menerapkan teknik bertanya selaras dengannya, maka pembelajaran akan berjalan lebih hidup dan siswa akan lebih bisa terlibat dalam pembelajaran. Hal ini juga secara tidak langsung akan membuat pembelajaran lebih efektif. Yang lebih penting lagi, hal ini bisa meningkatkan motivasi siswa dalam belajar.

Alhasil, bertanya bisa dijadikan salah satu teknik yang baik untuk meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Taksonomi Bloom bisa menjadi acuan bagi guru untuk membuat pertanyaan dan bagaimana sebaiknya mengajukan pertanyaan kepada siswa.

Sejatinya, guru harus menyiapkan benar-benar pertanyaan yang akan ditanyakan di kelas. Ketika bertanya, guru tidak seharusnya hanya berfokus kepada jawaban siswa, tetapi pertanyaan harus bisa dijadikan sebagai alat untuk membangun motivasi belajar siswa. 

Inilah sebenarnya tugas yang utama bagi seorang guru, selain memberikan materi pelajaran. Karena memberikan materi pelajaran dengan baik tak akan bermakna banyak, jika siswa tidak termotivasi untuk mempelajarinya.

Referensi:

[1] ASTRID, A., AMRINA, R. D., DESVITASARI, D., FITRIANI, U., & SHAHAB, A. (2019). The Power of Questioning: Teacher's Questioning Strategies in the EFL Classrooms. | IRJE |Indonesian Research Journal in Education|, 3(1), 91-106. https://doi.org/10.22437/irje.v3i1.6601

[2] Guest.  (1985).  The  case  study  method: Critical  thinking  enhanced  by  effective  teacher questioning  skills. The  18th  Annual  International  Conference  of  the  World  Assosiaation  for Case Method Research & Application. Retrived from https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED455221.pdf.

[3] Richards, J.C.,& Lockhart, C. (1994). Reflecting teaching in second language classrooms.Cambridge, England: Cambridge University Press.

[4] Mc  Comas WF,  Abraham L  (2005). Asking  more effective  questions. https://cet.usc.edu/resources/teaching_learning/material_docs/Asking_Better_Questions.pdf

[5] Carol Ann Tomlinson, The Differentiated Classroom Responding to the Needs of All Learners (1999)

[6] Ziyaeemehr, A. (2016). Use of Questioning Techniques and the Cognitive Thinking Processes Involved in Student-Lecturer Interactions. NTERNATIONAL JOURNAL OF HUMANITIES AND CULTURAL STUDIES, 3(1), 1427-1442.

[Baca Juga: Perencanaan Pengembangan Sekolah Pasca Pandemi]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun