Minggu (6/12/2020) pagi dini hari ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara (JPB) sebagai tersangka kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) dana bantuan sosial covid-19 di Kementerian Sosial.
Ada 5 tersangka ditetapkan pada kasus ini. Dua diantaranya masih belum tertangkap, termasuk menteri JPB. Namun, selang beberapa waktu kemudian, akhirnya JPB menyerahkan diri ke KPK.Â
Korupsi, Covid, dan Politik
Sebagai masyarakat awam, saya mengapresiasi kinerja KPK akhir-akhir ini. Ditengah isu pelemahan, KPK masih bisa bekerja dengan baik. Baru-baru ini, ada dua menteri dan satu kepala daerah yang ditangkap KPK terkait kasus korupsi milyaran rupiah yang terjadi.
Nampaknya, kasus ditangkapnya menteri sosial pagi ini akan ramai dibicarakan masyarakat, apalagi yang tersandung kasus ini adalah salah satu elit partai berkuasa saat ini.
Kasus ini juga memiliki dimensi yang lain. Hal yang juga mungkin akan banyak dibicarakan orang adalah terkait penanganan pemerintah terhadap pandemi covid-19. Di tengah masyarakat yang sedang kesulitan menghadapi pandemi yang diikuti dengan badai resesi ekonomi, masih ada saja pejabat pemerintah yang mengail di air keruh.
Seolah hal ini menjadi cerminan kegagalan pemerintah menangani pandemi. Beberapa stigma negatif  bermunculan pada sebagian masyarakat mengenai keseriusan dan kompetensi pemerintah menangani pandemi.
Diskursus covid-19 beberapa minggu ini telah sangat mengganggu kehidupan bernegara, suasana politik pun semakin panas, rakyat semakin cemas. Di satu sisi rakyat harus melawan covid-19 yang kasusnya terus meningkat dari hari ke hari, di sisi lain hingar bingar kehidupan bernegara membuat masyarakat semakin skeptis.
Sebut saja kasus kerumunan massa yang membawa nama Habib Rizieq Shihab dan Gubernur Jakarta Anies Baswedan, isu coviditisasi yang berbau politis yang menyebabkan ada pengamat yang beropini adanya politik virus oposisi, dan yang terakhir isu para menteri yang diduga menyembunyikan keadaannya yang positif covid-19 yang dilemparkan oleh salah satu media ternama di negeri ini. Entah benar atau tidaknya isu-isu tersebut, yang jelas isu-isu tersebut sangat mengganggu jalannya pemerintahan dan kehidupan bernegara.
Terkait kasus korupsi bantuan sosial ini memang sudah diawasi KPK dari awal terjadinya pandemi. Dana-dana bantuan sosial memang sangat rentan diselewengkan. Bisa saja para pejabat berwenang mengatasnamakan kedaruratan dengan sangat mudah melakukan penyelewengan. Apalagi yang namanya bantuan sosial, banyak orang yang tidak menaruh curiga. Padahal, kementerian sosial adalah salah satu kementerian yang paling rentan.Â
Tak pelak, kasus ini pasti akan sangat memukul pemerintahan kabinet Jokowi jilid 2. Bayangkan, dalam selang waktu beberapa minggu, dua menteri ditangkap KPK. Tak bisa dipungkiri, hal ini akan mengurangi kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan pada partai penguasa.
Yang menarik, pada kasus OTT sebelumnya, yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, partai yang terkena imbasnya adalah partai yang melawan partai penguasa saat ini pada pilpres terakhir. Uniknya, partai yang melawan petahana ini, justru memutuskan untuk berkoalisi dan masuk ke pemerintahan.
Menakar Peta Kekuatan Politik 2024
Secara politik, kasus ini akan sangat berpengaruh pada peta kekuatan politik pada pemilu dan pilpres tahun 2024 mendatang.
Di masa periode keduanya, pemerintahan Jokowi dan partainya digoyahkan dengan tingkah laku para elit politiknya, baik elit partai politik partainya sendiri, maupun elit partai politik koalisinya.
Kondisinya mirip dengan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jilid 2 yang pada waktu itu banyak ditempa isu miring korupsi para kadernya dan anggota kabinetnya.
Akhirnya, 10 tahun pemerintahan SBY dan partai demokratnya harus terkena batunya. Pada pemilu 2009 Partai Demokrat meraih suara tertinggi 20,85%, tetapi pada pemilu 2014 perolehan suara Partai Demokrat turun drastis ke angka 10,19%. Penurunan suara ini sejalan dengan turunnya pamor pemerintahan SBY jilid 2 pada waktu itu.Â
Apa yang terjadi pada pemilu 2014 saat itu? Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai oposisi meraup suara terbanyak dengan angka 18,95%. Ini sejalan dengan naiknya pamor tokoh PDI-P yang akhirnya terpilih menjadi Presiden, Bapak Joko Widodo.
Sama seperti pemerintahan SBY, periode pertama pemerintahan Jokowi berjalan mulus. Dampaknya suara PDI-P pun naik pada pemilu 2019 ke angka 19,33%. Pada 2019 bukan hanya pamor partai penguasa yang naik, tetapi pamor Partai Gerindra sebagai partai oposisi juga naik.
Duel kedua partai ini terlihat jelas pada pemilihan presiden yang menghadap-hadapkan keduanya. Dua kali duel yang sama terjadi pada pilpres 2014 dan 2019. Keduanya memenangkan Jokowi dengan PDI-Pnya dengan perbedaan suara yang tipis.
Secata perhitungan politik, andai Partai Gerindra tidak masuk berkoalisi pada pemerintahan sekarang, sangat besar kemungkinan Partai Gerindra bisa unjuk gigi pada pemilu yang akan datang.
Namun, apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Sekarang, Gerindra ada di koalisi. Banyak yang membaca masuknya Gerindra ke koalisi adalah salah satu strategi besar memuluskan Prabowo untuk menjadi Presiden di tahun 2024.Â
Kita masih ingat, Megawati sebagai pimpinan tertinggi PDI-P pernah bersatu dengan Prabowo, mencoba melawan kedigdayaan SBY pada pilpres 2009, meskipun harus menelan pil pahit dengan kekalahan telak saat itu.
Fenomena Partai Baru
Lantas, apakah nantinya partai oposisi akan berjaya kembali seperti halnya pemilu tahun 2014?
Partai oposisi yang tersisa sekarang adalah Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Keduanya adalah partai yang pernah berkuasa sebelumnya. Rasanya sulit memprediksi keduanya kembali naik memenangi pemilu 2024 kelak.
Di tengah kondisi stagnan politik seperti ini, rasanya kehadiran partai-partai baru mungkin akan membawa angin segar bagi negeri ini.Â
Di era ini, ada beberapa partai baru bermunculan. Sebut saja, Partai Gelombang Rakyat Indonesia atau Partai Gelora yang berisikan para mantan elit politik PKS, Partai Ummat yang akan segera dideklarasikan Amien Rais yang keluar dari PAN, dan Partai Masyumi Reborn yang katanya didukung oleh organisasi fenomenal Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dengan beberapa tokohnya dan berencana menggandeng Habib Rizieq dengan Front  Pembela Islamnya.
Menarik ditunggu, apa yang akan terjadi di pemilu yang akan datang. Apakah partai berkuasa akan bertahan? Atau oposisi yang akan mengambil alih? Atau malah justru partai baru akan kejatuhan duren?
Alhasil, kasus korupsi memang selalu enak dikaitkan dengan politik. Meskipun kasus hukum tidak selayaknya dipolitisasi. Sepertinya halnya ada partai baru, rasanya perlu ada komisi khusus baru yang membantu KPK mengurusi persoalan ini, sebut saja Komisi Politik Korupsi.Â
Singkatannya sama-sama KPK tetapi memiliki arti yang berbeda. KPK khusus ini diharapkan bisa memberikan psikoterapi khusus bagi para politikus yang melakukan korupsi.Â
Perlukah? Saya beropini, silakan Anda yang menyimpulkan.
[Baca Juga: Hal-hal Kecil yang Bermakna Besar]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H