Setelah Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri dikeluarkan pemerintah beberapa waktu lalu, pastinya banyak sekolah yang mulai menata diri, siap-siap menyongsong pembelajaran tatap muka.
SKB 4 menteri ini memang sangat terbuka. Perihal perizinan pembukaan sekolah di masa kedaruratan kesehatan pandemi covid-19 sepenuhnya diberikan ke daerah. Kebijakan tidak lagi terpusat. Pemerintah pusat hanya bertindak sebagai pengawas saja.
Kewenangan kebijakan ada pada pemerintah daerah yang mesti berkoordinasi dengan satuan gugus tugas (satgas) daerah, sekolah, dan komite sekolah sebagai perwakilan orangtua siswa.
Menyoal Kesiapan Sekolah
Jika dipikir-pikir, nampaknya pemerintah daerah juga akan melemparkan bola kepada sekolah untuk bisa memutuskan masing-masing.Â
Oleh sebab itu, sudah selayaknya setiap sekolah perlu mempersiapkan diri dengan baik menyongsong pembelajaran tatap muka ini sehingga pada waktunya nanti sekolah akan mampu memberikan argumen terkait kesiapannya melakukan pembelajaran tatap muka.
Lantas apa yang seharusnya sekolah lakukan?
Sebenarnya, pemerintah telah memberikan arahan dan panduan di dalam SKB 4 menteri tersebut. Langkah-langkah yang harus diambil sudah lengkap dijelaskan di dalamnya.Â
Sekolah, dalam hal ini diwakili oleh kepala sekolah bertanggung jawab untuk mengisi daftar periksa kesiapan pembelajaran tatap muka, membentuk satuan tugas, membuat rencana kegiatan dan anggaran satuan pendidikan (RKAS), dan melaporkan jika ada warga sekolah yang terjangkit covid-19.
Motor dari rencana pembelajaran tatap muka ada pada satuan tugas. Setidaknya ada tiga tim pada satuan tugas yang perlu dibentuk sekolah. Tiga tim tersebut adalah sebagai berikut:
- tim pembelajaran, psikososial, dan tata ruang;
- tim kesehatan, kebersihan, dan keamanan; dan
- tim pelatihan dan humas.
Menurut saya, di awal masa persiapan pembelajaran tatap muka ini, tugas terberat ada pada pundak tim pelatihan dan humas.
Tim pelatihan dan humas harus benar-benar melakukan sosialisasi bagaimana sebenarnya kondisi real di lapangan nantinya ketika pembelajaran tatap muka dilaksanakan.
Menyoal Kesiapan Siswa dan Orangtua
Tak bisa dipungkiri, masih banyak siswa dan orangtua yang berpikir bahwa pembelajaran tatap muka yang akan dilaksanakan adalah pembelajaran tatap muka normal.
Saking lamanya menjalani pembelajaran daring, siswa dan orangtua mungkin sudah tidak bisa berpikir jernih lagi, seolah lupa akan hakikat adaptasi kebiasaan baru (AKB). Karena euforia pembelajaran tatap muka yang segera akan dilaksanakan terkadang membuat siswa dan orangtua tak menghiraukan kebiasaan baru.Â
Siswa mungkin berpikir bahwa kembali sekolah akan sangat menyenangkan. Bisa bertemu teman kembali, bersenda gurau, dan bermain bersama. Kiranya momen seperti inilah yang dirindukan siswa.Â
Orangtua mungkin berpikir bahwa dengan adanya pembelajaran tatap muka, anak akan kembali bisa mendapatkan pembelajaran secara normal lagi. Orangtua tidak perlu repot-repot lagi mengawasi anaknya belajar di rumah.
Sejatinya pembelajaran di era AKB itu bukan berarti membuka sekolah secara normal atau berkegiatan sama seperti sebelum masa pandemi. Masa pembelajaran tatap muka di era AKB pastinya akan sangat berbeda dengan pembelajaran tatap muka normal.
Jika tidak diberikan penjelasan yang tuntas, siswa dan orangtua akan berpikir berbeda. Jika ini tidak dilakukan, yang paling terkena imbasnya adalahi siswa. Siswa yang akan menjalani adaptasi kebiasaan baru di sekolah. Siswa yang perlu mendapatkan penjelasan dan pelatihan bagaimana menjalankan protokol kesehatan dengan baik dari sekolah.Â
Ini menjadi hal penting yang perlu dilakukan. Bisa saja kebiasaan baru tak terpikirkan oleh siswa, bisa saja mereka lupa bahwa mereka harus selalu menjaga jarak, memakai masker dan cuci tangan.
Baca:Â Anak Ulangan Harian di Sekolah, Sudah Siapkah Pembelajaran Tatap Muka?
Selain itu, kegiatan yang sifatnya berkerumun, tidak akan bisa dilaksanakan. Jangan harap siswa bisa jajan di kantin sambil ngobrol bersama teman, jangan harap siswa bisa olahraga bersama, jangan harap siswa bisa berkumpul duduk santai di taman sekolah, jangan harap siswa bisa melakukan kegiatan ekstrakurikuler di luar jam sekolah.
Sudah siapkah siswa dan orangtua menghadapi ini semua? Sudah siapkah siswa dan orangtua menghadapi era baru pembelajaran tatap muka?
Rasanya akan sulit dijawab, baik bagi siswa maupun bagi orangtua. Bagi siswa, hal ini yang akan menjadi pembeda, mana siswa yang ke sekolah benar-benar ingin belajar, mana yang ke sekolah hanya ingin bertemu teman atau bermain dan bersenda gurau.
Jika siswa benar-benar ke sekolah ingin belajar, adaptasi kebiasaan baru adalah sebuah keniscayaan yang harus dihadapi. Siswa akan memilih untuk ke sekolah walaupun harus mengikuti protokol kesehatan yang ketat. Bagi mereka, bisa belajar tatap muka itu lebih penting daripada harus belajar daring. Tak menjadi masalah besar walau harus mengikuti protokol kesehatan yang terasa menyulitkan.
Sebaliknya, bagi siswa yang ke sekolah hanya ingin bertemu teman atau bersenda gurau, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk memulai pembelajaran tatap muka. Bagi mereka, buat apa belajar tatap muka, kalau tidak bisa bebas bergerak, berinteraksi dengan teman. Jika seperti itu, lebih baik belajar daring saja di rumah.
Jika dipikir lebih mendalam, tipe siswa yang kedua ini tidak bisa juga disalahkan sepenuhnya. Pendidikan juga tak lepas dari aspek psikososial siswa. Siswa ke sekolah bukan hanya belajar materi akademis, tetapi juga siswa belajar bagaimana berinteraksi dan bersosialisasi yang baik.Â
Yang salah adalah ketika tidak terjadi keseimbangan, ketika siswa ke sekolah hanya untuk belajar akademis saja atau hanya ingin berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman saja.
Jika pembelajaran tatap muka tidak memperhatikan benar-benar aspek psikososial siswa, jangan heran, nantinya mungkin siswa lebih memilih pembelajaran daring.
Tak bisa dipungkiri, ada sebagian siswa yang lebih suka belajar daring. Apalagi ada juga sekolah-sekolah yang sangat efektif menerapkan pembelajaran daringnya.Â
Siswa lebih nyaman mengeksplor diri di internet tanpa harus dibatasi oleh ruangan kelas. Terbukanya informasi di internet membuat siswa lebih mudah mengakses materi pelajaran dari berbagai sumber. Siswa pun lebih enjoy menjalani proses belajarnya.Â
Sebuah Refleksi
Ya, segala sesuatu memang ada plus dan minusnya. Inilah fungsinya kita sebagai orang dewasa untuk bisa mempertimbangkannya. Peran sekolah dan orangtua sangat krusial untuk mendesain kebijakan sedemikian rupa agar pembelajaran tatap muka bisa berjalan dengan baik.Â
Bahkan orangtua berhak untuk tidak memberikan izin kepada anaknya untuk tidak mengikuti pembelajaran tatap muka, jika memang masih khawatir terhadap keamanan dan kesehatan siswa.Â
Sekolah pun tak boleh lepas tangan, jika ada orangtua yang mengambil keputusan tidak memberikan izin kepada anaknya, sekolah harus tetap membantu berjalannya pendidikan anak, walaupun pastinya, bagi anak seperti ini, pembelajaran tidak akan bisa dimaksimalkan.
Alhasil, untuk melakukan pembelajaran tatap muka, pemerintah daerah, sekolah dan orangtua harus bisa berpikir jernih. Di masa pandemi seperti ini, kesehatan tetap menjadi prioritas utama yang harus dipikirkan.Â
Kebijakan yang akan diambil mungkin bisa berbeda, tetapi ada satu hal yang akan selalu sama. Pemerintah daerah, guru, dan orangtua perlu bekerja lebih keras, lebih ekstra untuk menjalankan setiap kebijakan apapun yang akan diambil nantinya. Inilah sebuah keniscayaan dalam menghadapi pandemi.
[Baca Juga: Sekolah Kami Masuk Top 10 Hasil UTBK 2020]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H