Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Memaknai Postingan Anies Baswedan Pagi Ini

22 November 2020   21:47 Diperbarui: 23 November 2020   07:36 3440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bagian pembukaan, tersirat makna bahwa buku ini ditulis atas dasar kekhawatiran penulis akan menurunnya nilai-nilai demokrasi di AS, terutama setelah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden pada pemilu AS tahun 2016. 

Penulis menganggap sosok Trump adalah sebagai sosok yang tidak memiliki pengalaman menduduki jabatan publik, mempunyai komitmen yang kecil terhadap hak konstitusional, dan memiliki kecenderungan bersikap otoriter.

Jika kita perhatikan apa yang terjadi saat ini, terutama setelah pemilu presiden AS tahun 2020, rasanya apa yang dikhawatirkan benar adanya. Indikasi yang dituliskan penulis dua tahun lalu terlihat jelas saat ini.

Mungkin, jika boleh saya beropini, buku ini juga mempunyai andil dalam memenangkan Biden atas Trump di pemilu dua minggu lalu, selain andil dari virus corona. Mungkin, buku ini banyak membuka mata rakyat Amerika akan pentingnya memiliki rasa kekhawatiran.

Ya, rasa kekhawatiran yang dimaksud disini bukanlah kekhawatiran yang tanpa dasar. Di bagian pembukaan buku tersebut dijelaskan secara detail mengenai sejarah pemerintahan otoriter yang pernah terjadi di dunia. 

Diberikan contoh Mussolini di Italia, Hitler di Jerman, dan yang lebih terbaru Chavez di Venezuela. Penulis mengatakan bahwa sejarah yang sama memang tak akan terulang, tetapi sejarah memiliki rima. Rima yang mungkin saja terjadi lagi.

Lebih jauh, penulis berkata, "Paradoks tragis dari jalur elektoral menuju otoritarianisme adalah bahwa para pembunuh demokrasi menggunakan institusi demokrasi itu sendiri -secara bertahap, halus, dan bahkan legal- untuk membunuhnya."

Jika kita perhatikan opini penulis, bukan tidak mungkin hal yang sama bisa terjadi di negara kita. Hal ini jangan diartikan bahwa pemerintah saat ini memiliki indikasi ke arah sana. Yang dimaksud disini adalah kewaspadaan. Kita sebagai warga negara yang baik sepatutnya terus waspada dalam menjaga demokrasi di negara kita. 

Kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya hal yang melawan demokrasi di masa depan harus dijadikan peringatan bagi kita untuk terus menjaga dan mengawasi demokrasi di negara kita, kapanpun dan siapapun yang menjadi pemerintahnya. Inilah salah satu makna yang penting kita pahami.

Alhasil, postingan Pak Anies bisa saja diperdebatkan, dan bisa juga dipolitisasi. Bagi saya, selalu ada makna yang lebih baik daripada hanya sekedar perdebatan dan politisasi. Yang penting adalah bagaimana kita melihat sesuatu dari sisi yang lebih bermanfaat dari sudut pandang kita masing-masing.

[Baca Juga: Musibah Lidah]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun