Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tak Ada Kata "Game Over" dalam Menangani Kecanduan Games pada Siswa

12 Oktober 2020   18:18 Diperbarui: 14 Oktober 2020   13:31 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi game PUBG. (KOMPAS.com/ RAJA UMAR)

"Pak Guru, anak saya ketika belajar online terkadang sambil bermain games." Itu laporan salah satu orang tua siswa di sekolah kami.

Sontak saya kaget. Yang saya tahu, semasa sebelum pandemi dulu, siswa-siswi sekolah kami sangat disiplin mengikuti kegiatan pembelajaran. Di dalam atau diluar kelas, jarang sekali ada yang melanggar aturan.

Kami beruntung masih ada orang tua yang mau melaporkan. Bayangkan, jika orang tua yang tak mau melaporkan atau bahkan tak peduli dengan kondisi ini, pastinya akan semakin runyam masalahnya.

Siswa Kecanduan Games

Jika mau jujur, inilah tantangan mengajar daring. Tak ada tatap muka, tak ada kedekatan hati, tak ada kedekatan emosional antara guru dan siswa.

Jadinya, siswa semakin sulit dikontrol, siswa cenderung lebih santai terhadap aturan, siswa cenderung seenaknya. Sebaik apapun aturan main dibuat sekolah, tetap saja mengontrolnya menjadi sesuatu yang sulit dilakukan.

Belajar menggunakan teknologi, memang membuat siswa semakin mudah terdistraksi. Salah satunya adalah siswa bisa terganggu dengan berbagai macam games yang menggiurkan, baik games online maupun offline.

Permasalahan games memang bukan permasalahan baru. Dulu ketika kecil, saya sempat juga terkena virus games ini. Mungkin bagi kita yang besar di era tahun 90-an seperti saya, pasti ingat dengan sebuah games permainan bangunan bernama tetris.

Pada zamannya dulu, tetris adalah primadona bagi anak-anak dari keluarga masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Tetris adalah games yang berharga relatif murah.  Anak-anak yang lebih kaya biasanya bermain nintendo atau sega yang relatif lebih canggih. Sudah pastinya, kala itu harganya juga selangit.

Sekarang, siapapun bisa membeli gadget. Apalagi di era pembelajaran daring gadget adalah kebutuhan utama siswa. Dengan menjamurnya gadget, permasalahan semakin pelik.

Ada dua problem besar pada siswa berkenaan dengan gadget, yaitu media sosial dan games. Keduanya memiliki efek yang luar biasa pada kehidupan siswa jika tidak dikontrol dengan baik.

Khusus untuk fenomena games, efeknya lebih berbahaya dari zaman-zaman sebelumnya. Sekarang, berbagai macam games bisa diunduh dengan cepat dan mudah. Tinggal cari dan klik download di play store, games sudah di genggaman tangan, bisa dimainkan kapanpun dan dimanapun.

Karena gadget ditangan, penggunaannya pun semakin tak terkontrol. Banyak anak-anak usia sekolah yang lupa waktu jika sudah bermain games di gadgetnya.

Saking asyiknya bermain games bahkan terkadang anak-anak lupa makan-minum, lupa istirahat. Yang lebih bahaya, jika anak sudah lupa kehidupan sosialnya, lupa kalau dia punya keluarga, lupa kalau dia punya teman. Bahkan ada juga yang juga melupakan belajar dan kegiatan sekolahnya. 

Tak pelak, games masih menjadi masalah serius bagi sebagian siswa. Guru dan orang tua harus serius menangani hal ini. Ancaman terjadinya mental disorder sangat besar. Itu bisa terjadi jika siswa sudah benar-benar kecanduan terhadap games.

Laksana orang yang kecanduan narkoba, kecanduan games juga akan memiliki beberapa efek. Ada efek fisik dan psikologis yang mungkin akan terjadi.

Efek fisiknya adalah bisa terjadi gangguan beberapa organ tubuh karena terlalu lama digunakan bermain games. Yang paling signifikan adalah gangguan mata. Karena ketika bermain games di depan gadget ada paparan sinar biru yang bisa mengganggu fungsi retina mata.

Efek psikologis sama bahayanya. Stress, depresi, kecemasan, dan perilaku asosial tak terhindarkan. Jika sudah akut, bahkan perlu dibawa ke psikolog. Yang lebih mengkhawatirkan adalah jika sudah merusak organ otak. Fungsi otak berkurang. Dampaknya akan berlangsung lama dalam kehidupan.

Strategi Menangani Kecanduan Games

Lalu bagaimana sebaiknya menangani masalah siswa yang kecanduan games ini? Apa strategi dan langkah-langkah yang harus diterapkan?

Pertama, guru harus mampu mendeteksi permasalahan dengan baik. Sejauh mana tingkat kecanduan siswa harus benar-benar dipahami. 

Dengan ini, guru akan mudah menyusun langkah apa yang pertama dan utama yang harus diambil untuk membantu siswa tersebut keluar dari permasalahannya.

Kedua, guru harus mampu melakukan pendekatan persuasif untuk menjelaskan permasalahan kepada siswa. Guru harus mampu menjelaskannya dengan logis dan mudah dipahami siswa. 

Pertanyaan-pertanyaan seperti, Apa itu games? Apa manfaat dan bahayanya? Bagaimana bermain games yang aman? Berapa lama seharusnya siswa bermain games? Games apa yang bisa dipilih? harus bisa dijelaskan dengan baik dan jelas, tanpa meninggalkan ruang tanda tanya di kepala siswa.

Ketiga, alihkan fokus siswa. Caranya adalah dengan mengidentifikasi apa hobi dan interest siswa yang lain. Perlu usaha lebih untuk menggalinya. Siswa bisa saja mengatakan bahwa bermain games adalah satu-satunya hobi dan interestnya. 

Jika itu terjadi, komunikasi harus lebih rutin dilakukan. Buka wawasan siswa tentang dunia dan kehidupan. Berikan stimulus-stimulus menarik kepada mereka sehingga mau lebih membuka diri. 

Setelah itu dilakukan, otomatis guru akan lebih bisa membaca siswa. Guru akan lebih memahami hal apa yang bisa digunakan untuk mengalihkan fokus siswa dari sekedar hanya bermain games.

Keempat, arahkan interestnya pada games ke arah yang lebih positif. Pada kasus games ini banyak yang bisa guru lakukan. 

Misalnya, guru bisa mengarahkan siswa untuk menulis esai atau artikel tentang games yang disukainya atau guru bisa menantang siswa untuk membuat gamesnya sendiri dengan menggunakan program yang sederhana.

Dengan ini, siswa akan lebih tertarik dan menikmati apa yang dilakukannya. Secara tidak sadar, siswa akan mengurangi waktunya bermain games. Lama-kelamaan siswa akan lebih menikmati menulis esai dan mempelajari pemrograman daripada bermain games itu sendiri.

Kelima, guru harus melibatkan orang tua. Orang tua harus dimasukkan dalam satu paket penanganan yang dilakukan. Komunikasi dua arah harus dilakukan. Saran dan masukan harus diminta dan diberikan secara bersamaan. 

Solusi permasalahan games harus lebih banyak dilakukan di rumah. Dalam penanganan, controling dan monitoring secara intens di rumah sangat diperlukan. Pengondisian di rumah menjadi kunci keberhasilan penanganan masalah kecanduan games pada siswa.

Tantangan besarnya adalah semua strategi tersebut harus dilakukan secara online. Sulit memang, tapi bukan tak mungkin dilakukan. Hanya perlu dilakukan sedikit penyesuaian. Yang penting adalah adanya keyakinan dan usaha maksimal yang dilakukan.

Alhasil, mendidik siswa itu laksana bermain games, perlu strategi yang baik untuk memenangkannya. Strategi yang digunakan kadang berhasil kadang tidak. 

Bagi pendidik, tak ada kata "Game Over" dalam mendidik. Jika tidak berhasil, maka kita akan reset games dari awal lagi dan mencoba mencari strategi yang baru.

[Baca juga: Pesan di Balik Hadiah Nobel Perdamaian 2020]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun