Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memahami Paham dan Gagal Paham

10 Oktober 2020   09:12 Diperbarui: 11 Oktober 2020   05:59 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu tidak akan pernah bisa mengatakan dengan tepat apa yang membahagiakan hidupmu, tetapi kamu dengan mudah mengatakan apa yang tidak." Itulah yang dikatakan Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of the Good Life.

Ya, benar kata Dobelli, kebahagiaan memang sulit didefinisikan. Arti kebahagiaan bisa berbeda dari individu ke individu. Sedangkan ketidakbahagiaan lebih mudah dikenali. Indikasi ketidakbahagiaan lebih terlihat dan lebih mudah dirasakan.

Paham dan Gagal Paham dalam Pendidikan

Dalam dunia pendidikan, keadaan yang mirip terjadi pada seorang guru. Jika Rolf Dobelli kesulitan mendefinisikan kebahagiaan, seorang guru kesulitan mendefinisikan pemahaman siswa.

Untuk memahami bahwa siswa paham akan materi yang diajarkan diperlukan usaha yang tak mudah. Sebaliknya untuk memahami siswa yang gagal paham cenderung lebih mudah.

Biasanya, setelah guru menyampaikan materi di kelas, guru akan bertanya untuk mengetahui apakah siswa sudah paham atau belum.

Jika siswa mengatakan belum paham, bahagialah sang guru. Itu artinya dia mengetahui bahwa tujuan pembelajaran belum tercapai. Guru paham bahwa dirinya harus mengulangi lagi penjelasan atau mencari strategi lain untuk menjelaskan.

Namun, ada sebagian guru yang terkadang tidak memahami kondisi ini. Marah ketika ada siswa yang bertanya, marah ketika ada siswa yang tak memahami penjelasan.

Ini terjadi karena guru merasa sudah maksimal menjelaskan atau mungkin guru dikejar oleh tuntutan kurikulum untuk menyelesaikan materi tepat waktu. Hal ini menjadi catatan tersendiri bagi kurikulum yang kita gunakan.

Yang sulit adalah ketika semua siswa diam ketika ditanya apakah paham atau tidak. Dalam kondisi ini, guru sulit memahami apakah siswa sudah benar-benar memahami penjelasan atau belum. 

Diam tidak selalu berarti paham, diam bisa juga disebabkan siswa tak memahami apa yang dijelaskan. Sehingga bahkan apa yang perlu ditanyakan pun siswa tak paham.

Siswa juga cenderung enggan mengatakan "saya tak paham", karena takut menyinggung sang guru, atau malu dicemooh teman. 

Akhirnya, pemahaman siswa tidak benar-benar bisa dipahami oleh guru. Jadilah guru dipaksa untuk berspekulasi. Menganggap siswa sudah memahami.

Spekulasi bisa benar bisa salah. Jika benar tak bermasalah, jika salah akan menjadi masalah yang lebih besar. 

Yang mungkin juga terjadi adalah siswa memahami salah. Hal ini yang menyebabkan terjadinya misconception pada siswa. Hal ini akan terdeteksi ketika siswa harus menerapkan konsep pemahamannya pada aplikasi atau ketika siswa harus menggabungkan antara konsep yang satu dengan konsep yang lain. 

Di fakultas pendidikan misconception biasanya diajarkan sebagai salah satu materi kuliah. Guru seharusnya memiliki kemampuan untuk mendeteksi misconception yang mungkin terjadi pada siswa. Setelah terdeteksi. mudah untuk diluruskan. 

Yang lebih berbahaya adalah ketika siswa berpura-pura untuk paham. Biasanya ini terjadi pada siswa yang tak memiliki motivasi untuk belajar. Masuk kelas hanya karena tidak ingin dimarahi orang tua. Paham atau tidak paham tidak dihiraukannya.

Sebenarnya guru bisa berpikir lebih terstruktur dan sistematis untuk bisa menilai pemahaman siswa. Guru bisa menggunakan metode penilaian untuk mengetahui sejauh mana siswa memahami materi. Dalam dunia pendidikan disebut dengan penilaian formatif (formative assessment).

Berbagai macam teknik penilaian formatif bisa digunakan. Guru tinggal memilih mana teknik yang paling cocok, objektif, dan terukur. Dalam hal ini yang terpenting adalah bagaimana guru bisa menyiapkannya dengan baik dan mengintegrasikannya dalam perencanaan pembelajaran.

Sebaik apapun usaha sang guru untuk mencoba memahami siswa, tetap saja pemahaman siswa masih menjadi misteri. Guru tidak benar-benar bisa memahami apakah siswa itu paham atau gagal paham terhadap materi yang dijelaskan. Oleh karenanya diperlukan kerja sama yang baik antara siswa, guru, orangtua, dan pihak sekolah untuk bisa meminimalisir kegagalan pemahaman pada siswa. 

Paham dan Gagal Paham dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja

Paham dan gagal paham tidak hanya terjadi di dunia pendidikan. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, hal ini juga sering terjadi.

Fenomena yang paling aktual sekarang adalah perdebatan mengenai Omnibus Law Undang-undang (UU) Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR pada tanggal 5 Oktober 2020 lalu. Terjadi perbedaan pemahaman substansi UU di masyarakat.

Permasalahan sudah timbul sejak UU ini masih menjadi Rancangan Undang-undang (RUU). Peliknya permasalahan UU Cipta Kerja ini sehingga melibatkan hampir semua elemen negara. Lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, dan masyarakat terlibat pada perdebatan permasalahan ini. 

UU Cipta Kerja dibuat dan disahkan atas kerja sama lembaga eksekutif dan legislatif. Masyarakat menolaknya dan akan membawanya ke pengadilan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yudikatif tata negara tertinggi. Menarik ditunggu apa keputusan MK kelak.

Sebenarnya akar permasalahan Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah masalah pemahaman. Perbedaan pemahaman terjadi karena adanya perbedaan penafsiran. Sebagian masyarakat menafsirkan Omnibus Law UUU Cipta Kerja berbeda dari apa yang ditafsirkan pemerintah dan DPR.

Kebanyakan orang awam yang tidak memahami substansi UU tersebut pastinya menjadi bingung. Siapa yang benar, siapa yang salah. Siapa yang paham, siapa yang gagal paham. 

Jika mau fair, sebab kegagalan pemahaman substansi Omnibus Law UU Cipta Kerja bisa dilihat dari dua hal. 

Pertama, kedua kubu yang berdebat mungkin harus benar-benar mengkaji lebih dalam kembali UU tersebut secara detail dengan pikiran yang lebih jernih. 

Kedua, pemerintah dan DPR yang berargumen bahwa tidak ada UU yang dibuat untuk menyengsarakan rakyatnya, mungkin seharusnya bisa lebih menyosialisasikan dengan baik lagi setiap UU yang akan disahkan.

Masyarakat pun harus benar-benar memperhatikan, jika ada yang kurang jelas, harus ditanyakan ke yang berwenang, bukan justru membuat penafsiran sendiri. Jangan sampai terjadi kegagalan pemahaman atau kesalahpahaman.

Pada kasus ini, sangat disayangkan perdebatan yang disebabkan perbedaan penafsiran ini justru berujung pada demonstrasi yang terjadi di mana-mana. 

Lebih disayangkan lagi, demonstrasi tidak berjalan damai. Ada saja orang-orang yang ingin mengail di air keruh. Berita hoaks dan provokasi disebarkan. Jika sudah seperti ini, kita semua yang menanggung kerugiannya.

Alhasil, permasalahan paham dan gagal paham seharusnya bisa diselesaikan dengan baik. Semua permasalahan harus ada yang menengahi. 

Yang paling aman adalah menyerahkan masalah ini kepada yang ahli, yang benar-benar bisa memahami dan memberikan pemahaman dengan baik. Jika ini dilakukan, paham dan gagal paham akan bisa dipahami, sehingga kita akan saling memahami.

[Baca juga: Manajemen Waktu dengan Mengondisikan Mindset dan Peak Moment]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun