Bagi Illich nilai adalah bukan sesuatu yang penting, yang penting adalah kemampuan.
Kemampuan diasah dengan praktik dan kerja nyata, bukan dengan teori. Tak heran jika siswa lulusan SMK lebih memahami teknologi praktis dari pada lulusan sarjana jurusan teknik informatika. Sebabnya adalah sistem pendidikan kita yang masih berorientasi nilai bukan kemampuan.
Kedudukan nilai yang penting inilah yang membuat siswa mengejar-ngejarnya. Apapun dilakukan untuk mendapatkan nilai yang bagus. Bahayanya, jika siswa sudah menghalalkan segala cara. Mencontek menjadi kebiasaan. Plagiarisme menjadi budaya.Â
Mengubah Pola Pikir tentang Nilai
Sebenarnya, yang harus dilakukan adalah mencoba mengubah pola pikir yang benar mengenai nilai. Jika nilai dipandang dari sudut pandang yang benar maka nilai akan bernilai.
Dalam sistem kurikulum dikenal apa yang disebut dengan remedial. Remedial dilakukan setelah ujian. Tujuannya untuk memperbaiki nilai siswa.Â
Sebenarnya remedial adalah sebuah proses, bukan one time program. Remedial harus didahului dengan evaluasi dari hasil ujian, lalu pemetaan akan kekurangan siswa, dan adanya pembelajaran remedial yang dilakukan secara sistematis.
Setelah proses itu berlangsung, maka siswa akan diuji kembali pengetahuannya. Jika sudah berhasil melewati standar maka selesai proses remedial. Jika belum, maka proses remedial harus kembali diulang.
Beginilah idealnya nilai digunakan, manfaatnya akan lebih terasa. Nilai benar-benar digunakan untuk mengetahui pemahaman siswa.
Sayangnya, realitas tidak selalu sama dengan idealisme. Nyatanya masih banyak siswa, bahkan guru yang tidak mau direpotkan dengan proses yang harus dilakukan.
Banyak siswa yang mengejar-ngejar guru untuk meminta remedial. Yang mereka pinta bukanlah proses remedial yang seharusnya dilakukan. Kebanyakan siswa merengek kepada guru untuk memberikan kemudahan padanya untuk mendapatkan nilai standar yang dibutuhkan dengan melalui proses jalan pintas remedial pastinya.