Kemarin sore (14/09/2020) seorang ulama masyhur ditusuk oleh orang tak dikenal ketika memberikan kajian agama di salah satu masjid di Bandar Lampung. Tusukan keras yang membuat luka tusuk sangat dalam tepat di lengan kanan sang ulama.Â
Darah bercucuran, jamaah histeris. Sang Ulama diberi pertolongan pertama, penusuk ditangkap jamaah lalu diserahkan ke kepolisian.
Sontak berita ini menggegerkan dunia maya. Video kejadian tersebar luas. Masyarakat menanggapi kejadian ini dengan cara yang beragam. Ada yang over acting menanggapinya dengan nada memprovokasi, ada yang menghubungkannya dengan radikalisme, ada yang bilang konspirasi, bahkan pasti ada juga yang mempolitisasi, apalagi di musim pilkada seperti ini.
Broadcast WA yang menuliskan laporan kejadian tersebar luas. Isinya sangat menarik. Pelaku diduga mengalami gangguan jiwa.Â
Sulit bagi saya mempercayai laporan ini. Apalagi laporan dikeluarkan dalam waktu yang sangat cepat, dan isu yang diangkat adalah gangguan jiwa. Kita tahu isu gangguan jiwa ini sempat ramai dibicarakan dalam kasus lain yang juga berkaitan dengan simbol agama.
Menanggapi peristiwa ini, saya teringat dari perkataan ulama Badiuzzaman Said Nursi yang mengatakan, "Siapa yang melihat dengan cara baik, maka akan berpikir baik. Siapa yang berpikir baik, maka akan mendapatkan kenikmatan dalam kehidupan."
Jika kita melihat dari perspektif ini maka yang perlu kita lakukan adalah melihat, memikirkan, merasakan dan menyikapi kejadian ini dengan baik. Keempat langkah tersebut adalah urutan langkah yang bisa kita ikuti untuk mencapai pemahaman yang komprehensif dan holistik dari kejadian ini.
Pertama, lihatlah peristiwa ini dari sudut pandang yang baik. Ada hal penting di artikel ini untuk menjelaskan ini. Sengaja saya tidak menyebutkan nama ulama yang menjadi korban penusukan ketika menulis artikel ini.Â
Mengapa? Karena saya ingin mengajak kita semua untuk melihat kejadian ini secara umum, tidak spesifik pada kasus ini saja. Jika kita pikirkan, kejadian ini bisa saja terjadi pada ulama yang lain, pemuka agama lain, maupun public figure lainnya yang tidak berhubungan dengan agama.
Kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan atau kasus penusukan Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Menko Polhukam seolah memperjelas argumen saya ini. Artinya, kejadian ini bisa saja terjadi pada siapa saja. Inilah dasar penglihatan kita pada kejadian ini.
Kedua, pikirkanlah kejadian ini dengan cara yang baik. Berpikir baik adalah hasil dari sudut pandang yang baik. Kedua hal ini dalam agama disebut husnuzan. Pemikiran yang tidak berlandaskan husnuzan biasanya akan membawa kecurigaan, kekhawatiran berlebih dan prasangka buruk. Ini yang harus dihindari.
Yang perlu kita pikirkan adalah mengapa kejadian ini bisa terjadi? apa yang menyebabkannya? dan bagaimana kita menghindarinya supaya tidak terjadi lagi? Hal ini memerlukan sebuah pemikiran jernih yang konstruktif bukan justru berpikir destruktif, berpikir yang tidak-tidak.
Ketiga, renungi dengan baik. Jika kita sudah sampai pada pemahaman yang baik akan kejadian ini, maka selanjutnya adalah kita harus merenungkannya. Perenungan yang  harus membawa perasaan tenang dan damai di hati kita.
Sudah pastinya, kita kaget, sedih dan marah ketika menyaksikan kejadian ini. Tetapi, jangan langsung kita menjustifikasi. Renungkan kembali apa yang benar-benar terjadi. Renungkan kembali sehingga kita akan mampu mengambil sisi positif dan negatif dari kejadian ini.Â
Keempat, sikapi kejadian ini dengan baik. Sikapi dengan tenang, pikiran jernih dan mampu bersikap dengan mengedepankan kesejukan dan kedamaian. Inilah sikap bijak yang harus kita lakukan untuk menyikapi kejadian ini.
Ketika keempat hal tersebut sudah kita lakukan, sisanya kita serahkan kepada yang berwenang. Kita harus melihat kejadian ini dari sisi pelanggaran hukum yang terjadi. Biarkan penegak hukum yang akan menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi. Ketika sudah jelas, biarkan hukum yang akan menindaknya dan memberikan hukuman nantinya.
Lalu, apakah kita harus tinggal diam? Sudah pastinya tidak. Esensinya, tak perlu kita memprovokasi atau terprovokasi. Tugas kita adalah memastikan proses hukum berjalan dengan baik. Kita pastikan keadilan bisa tercapai. Kita pastikan tidak ada intervensi dari pihak manapun.
Alhasil, kejadian ini mengajarkan kita untuk bisa melihat, memikirkan, merasakan dan menyikapi sebuah peristiwa dengan berlandaskan kebaikan.Â
Sebuah tindak kejahatan tidak melulu menjadi kesalahan si pelaku, mungkin ada juga kelalaian dari korban maupun kelalaian lingkungan yang menyebabkan kejahatan itu terjadi. Semoga peristiwa ini menjadi pelajaran bagi kita semua untuk lebih mawas diri dalam kehidupan.
[Baca juga: Akankah Nasionalisme Vaksin Menjadi Chauvinisme di Masa Pandemi?]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H