Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kehilangan Tongkat di Musim Pilkada

12 September 2020   12:30 Diperbarui: 12 September 2020   12:26 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musim Pilkada (ANTARA FOTO/IRFAN ANSHORI via kompas.com, gambar sudah diolah)

Di musim pilkada seperti sekarang ini, diskursus publik tentang politik uang, serangan fajar, bagi-bagi sembako atau apapun praktik-praktik politik uang lainnya, pasti akan mencuat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik ini masih menjamur di musim pilkada, terutama di daerah-daerah.

Praktek politik uang ini mirip dengan "perlombaan senjata" yang terjadi saat ini. Prof. Mujiburrahman (Rektor UIN Antasari Banjarmasin) dalam salah satu artikelnya mengatakan bahwa salah satu kekonyolan dalam kehidupan saat ini adalah perlombaan senjata. [1]

Apa itu perlombaan senjata? Sebenarnya istilah ini diungkapkan oleh Rolf Dobelli dalam bukunya yang berjudul The Art of the Good Life. "Demi rasa aman, satu negara terpaksa membeli senjata karena negara lain juga membelinya ", tulis Prof Mujiburrahman menafsirkan arti perlombaan senjata.

Beginilah faktanya, perlombaan senjata terjadi juga di sistem politik negara kita dalam bentuk politik uang. Para politikus terus menerus melakukan politik uang karena merasa orang lain juga melakukannya. Mengulang-ulang kesalahan yang sebenarnya dia tahu bahwa itu sesuatu yang salah. Kalau sudah seperti ini, sulit untuk diluruskan. 

Apakah semua politikus berpikiran seperti ini? Apakah semua politikus berlomba "membeli senjata" dengan menghalalkan segala cara? Silahkan Anda pikirkan, Anda yang bisa menjawabnya.

Beginilah politik. Penuh dengan intrik dan tipu daya. Wajar jika Ustad Badiuzzaman Said Nursi berkata, "Aku berlindung dari godaan setan dan politik." Hal ini beliau ungkapkan setelah sempat masuk ke dunia politik di masa mudanya. 

Politik terkadang menyamarkan mana yang benar, mana yang salah, mana teman, mana lawan.  Karena politik kesalahan bisa dianggap kebenaran, atau sebaliknya.

Bukan hanya di bidang politik, di bidang lain juga masih terdapat kesalahan-kesalahan yang terkadang dibenarkan sehingga orang mengulang-ulang melakukannya. Esensinya, beginilah manusia yang terkadang mengulang kesalahan. Baik disengaja maupun tidak disengaja, baik dirasakan maupun tidak dirasakan, baik karena dia menganggapnya benar atau tidak benar.

Sebuah Refleksi

Lalu bagaimana kita seharusnya berpikir berkenaan dengan hal ini? Saya teringat dengan sebuah cerita menarik berkenaan dengan hal ini. Kisah tentang seseorang yang ingin bertobat setelah melakukan kesalahan yang berulang-ulang. 

Alkisah ada seorang pria yang telah membunuh 99 orang. Pria ini ingin bertobat. Atas saran seorang alim (orang berilmu) Ia datang kepada satu orang pintar. Orang itu berkata kepadanya, "Tidak ada pintu tobat untukmu, kesalahanmu terlalu banyak." 

Apa yang terjadi kemudian? Pria itu justru lalu membunuh orang itu juga, genaplah menjadi 100 orang yang telah ia bunuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun