Dengan kekakuan dan kebekuan pemahaman seseorang akan sesuatu mungkin hanya akan menyentuh bagian permukaannya saja, tanpa mampu menyelaminya lebih mendalam. Inilah yang menjadi sumber terkikisnya nilai-nilai intelektual dalam memahami sesuatu.
Di bagian akhir pembukaan penulis lebih mendalam lagi membahas bagaimana seharusnya membaca pesan dalam Al-Qur'an. Penulis berkata, "Mencoba memahami "Apa yang ingin disampaikan oleh Al-Qur'an (tujuan penyampaian wahyu)" tanpa tahu maksud "Apa yang Al-Qur'an sampaikan" tidak akan mengantarkan kita kepada hasil dan jawaban yang akurat".
Saya mendapatkan kalimat yang sama diulang kembali di paragraf terakhir pada bagian kesimpulan. Ini menunjukkan bahwa kalimat ini sebenarnya adalah inti dari artikel ini.Â
Menarik untuk membahas diksi yang dipakai. Apa yang Al-Qur'an sampaikan dan Apa yang disampaikan oleh Al-Qur'an. Yang pertama bermakna aktif yang kedua bermakna pasif. Subjeknya adalah Al-Qur'an.Â
Apa yang Al-Qur'an sampaikan maknanya adalah mempelajari dan memahami bagaimana pada saat Al-Qur'an itu pertama kali diturunkan. Artinya kita harus memahaminya dari konteks asbabun nuzulnya.
Baru setelah itu kita akan memahami apa yang ingin disampaikan Al-Qur'an. Kata ini dibuat pasif karena konteksnya adalah pembaca Al-Qur'an yang dituntut untuk memahami tujuan penyampaian wahyu Al-Qur'an tersebut.
Bagian Inti
Pada bagian inti penulis memaparkan tentang pesan damai Al-Qur'an. Penulis membukanya dengan memberikan penjelasan korelasi antara Tuhan dan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an tidak terlepas dari fenomena-fenomena sosial yang terjadi di masyarakat.
Banyak ayat Al-Qur'an yang bisa dijadikan contoh mengenai hal ini. Ayat-ayat yang menceritakan tentang jihad, narasi peperangan, memperlakukan tawanan perang dan tata cara ibadah pada saat peperangan seolah diberikan dalam rangka menegaskan bahwa yang akan dijelaskan adalah pesan damai dalam Al-Qur'an.
Dengan ketelitian intelektualnya, penulis berhasil menjelaskan secara gamblang bahwa ayat-ayat tersebut seharusnya tidak ditafsirkan secara diskriminatif dan dijadikan bukti bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan.
Dengan mendahulukan konsep "Apa yang Tuhan sampaikan" sebelum memahami "Apa yang ingin Tuhan sampaikan" ketika memahami ayat-ayat tentang jihad dan peperangan maka masyarakat akan sampai kepada pemahaman bahwa Islam pada hakikatnya bukanlah agama perang atau agama yang mengajarkan kekerasan.
Selanjutnya, penulis menjelaskan tentang konsep "fakta dan norma", serta politik prastis dan idealisme. "Fakta" berhubungan dengan konsep "Apa yang Al-Qur'an sampaikan" dan "norma" berhubungan dengan konsep "Apa yang disampaikan Al-Qur'an". Terjadi korelasi yang sangat indah pada pemahaman ini.