Itulah yang dilakukan kaum Muhajirin pada peristiwa hijrahnya Rasulullah s.a.w dari Mekah ke Madinah. Mereka fokus untuk dakwahnya, mereka fokus untuk bisa melakukan yang terbaik di tempatnya yang baru. Dan pada akhirnya mereka bisa merasakan kelezatan dari hijrah yang dilakukannya.
Berhijrah dengan Pandemi
Sejatinya, kondisi kita pada saat pandemi ini membuat kita seolah dalam keadaan berhijrah. Corona memaksa kita untuk berhijrah. Corona memaksa kita meninggalkan hal-hal yang kita sukai.
Kita dipaksa untuk berdiam di rumah, kita dipaksa untuk memakai masker ketika keluar rumah, kita dipaksa untuk mematuhi protokol kesehatan yang sebelumnya tidak pernah kita lakukan.
Kita kesulitan untuk bertemu dengan keluarga dan teman-teman kita, kita kesulitan untuk berkumpul bersama mereka, kita kesulitan untuk sekedar jalan-jalan menghilangkan rasa penat dalam diri kita, semua serba terbatas, semua dibatasi dengan ketakutan dan kekhawatiran.
Semua hal tersebut akan bermakna hijrah jika kita memiliki niat yang benar. Bukankah dulu Rasullullah s.a.w berkata bahwa segala amalan tergantung pada niatnya.Â
Begitu juga ketika kita berniat berhijrah dengan pandemi ini, kita harus mampu menata niat kita. Di dalam hati kita harus ada kejelasan untuk apa kita berusaha untuk menghadapi pandemi ini. Apakah untuk terhindar dari virus? Atau mencegah penyebarannya? Atau ada niat lain yang lebih penting dari sekedar yang berhubungan dengan virus ini?
Ya, pertanyaan-pertanyaan itu bukan untuk dijawab memang, tetapi sebagai bahan intropeksi diri. Jika kita memikirkannya dan mendalami secara lebih komprehensif, maka kita akan mendapatkan makna hakiki dari hijrah yang kita niatkan di masa pandemi ini.
Refleksi Hijrah di Masa Pandemi
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk bisa melewati hijrah kita di masa pandemi ini dengan baik?
Kita bisa bercermin kepada kaum Muhajirin pada masanya dulu. Yang mereka lakukan adalah fokus untuk mencapai tujuannya berhijrah. Bukankah jika kita fokus akan sesuatu membuat kita lupa akan kesulitan yang dihadapi?