"Gimana ya Bu solusi buat saya, buat ngirit kuota, soalnya 4 hari sudah habis. Sedangkan harganya cukup mahal. Saya tinggal di kampung dan orang tua saya pekerjaannya cuma petani. Bagaimana ya Bu agar saya tetap bisa mengikuti pelajaran dengan baik?" Inilah isi curhatan WA panjang salah satu siswi di sekolah kami kepada wali kelasnya.
Panjangnya WA bisa juga diartikan bahwa masalah seperti ini pastinya akan berkepanjangan jika Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) masih harus terus berlanjut.Â
Belum usai masalah ini, dunia pendidikan Indonesia dihebohkan dengan polemik Program Organisasi Penggerak (POP) yang diinisiasi Kemdikbud.
Lengkap sudah derita Mas Menteri. Apalagi di tengah isu reshuffle yang tengah menghangat di dunia politik, membuat suasana semakin keruh dan tak menentu.
Kisruh PJJ
Sudah diprediksi memang bahwa PJJ ini akan menuai banyak permasalahan, terutama masalah ekonomi. Biaya kuota internet yang begitu mahal membuat orang tua sakit kepala.Â
Bayangkan untuk bisa mengikuti PJJ dengan baik, satu siswa paling tidak harus menggunakan 5 GB per hari. Jika dihitung per bulan, totalnya 100 GB. Jika membeli paket hemat pun, kira-kira harus mengeluarkan biaya 200-300 ribu per bulannya. Ini untuk satu anak, bayangkan jika orang tua anaknya lebih dari satu.
Belum lagi infrastruktur yang harus disediakan. Paling tidak anak harus memiliki satu smartphone yang lumayan bagus untuk bisa mengikuti PJJ. Ini juga perlu biaya.
Pastinya banyak orang tua yang kewalahan. Jangankan orang tua yang berpenghasilan minim, orang tua yang berpenghasilan menengah pun akan terkena dampaknya. Belum lagi orang tua juga terkena dampak resesi ekonomi. Makin sulit sudah kehidupannya.
Di zaman ini, banyak keluarga yang akhirnya masuk kedalam kategori Modernized Poverty (Kemiskinan yang di modernkan). Istilah Modernized Poverty digunakan oleh filsuf Austria Ivan Illich dalam bukunya yang sudah cukup tua yang berjudul Deschooling Society (Masyarakat Tanpa Sekolah).
Istilah Modernized Poverty mengacu kepada kritik beliau kepada dunia pendidikan saat itu yang sangat mengagungkan institusi formal sekolah dan melupakan peran serta masyarakat dalam pendidikan.
Banyak masyarakat yang dimiskinkan karena birokrasi, politik dan monopoli finansial yang terjadi di sekolah. Masyarakat dipaksa untuk berpikir kaya dan hidup dalam kemiskinan.