Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sekolah Favorit Masihkah Menjadi Pilihan Orangtua di Masa PPDB?

18 Juni 2020   09:23 Diperbarui: 19 Juni 2020   10:00 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orangtua saat mendaftar PPDB| Sumber: Kompas/Bahana Patria Gupta

"Sekolah itu yang penting adalah kenyamanan siswanya, bukan favorit atau tidaknya sekolah..", Itu komentar salah seorang teman menanggapi orangtua yang memaksakan anaknya untuk masuk ke sekolah favorit. 

Saya tertarik dengan istilah sekolah favorit yang digunakannya. Kebanyakan dari kita mungkin masih salah memaknainya.

Di bulan ini SMA Negeri di seluruh Indonesia mulai melaksanakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang sudah pastinya dilaksanakan secara online. Tahun lalu, PPDB ini menjadi diskursus publik dengan kebijakan zonasinya. 

Berbagai macam komentar bermunculan di media. Ada yang mendukung, dan tidak sedikit juga yang mempertanyakannya.

Tahun ini terjadi perubahan aturan PPDB. Presentasi penerimaan siswa melalui jalur zonasi yang tadinya 90% diturunkan menjadi 50%. 

Sisanya adalah jalur afirmasi, prestasi, dan pindahan. Kebijakan ini masih didasari dengan tujuan pemerataan akses pendidikan. Perubahan ini terlihat lebih diterima oleh masyarakat.

Bagi sekolah negeri, PPDB mungkin adalah suatu rutinitas biasa dalam kegiatan sekolah, toh semua ada aturannya. Tak ada kekhawatiran bahwa tidak akan ada calon siswa yang mendaftar. 

Sumber: siap-ppdb.com
Sumber: siap-ppdb.com

Kebanyakan masyarakat masih akan memilih masuk ke sekolah negeri. Apalagi bagi masyarakat yang termasuk golongan ekonomi menengah kebawah, tak ada pilihan lain buat mereka.

Bagi sekolah swasta, PPDB adalah sesuatu yang sakral. Tak ada siswa berarti roda berjalannya institusi sekolah tidak akan berjalan. Miris memang, tapi inilah kenyataannya. 

Sekolah swasta harus berjuang mencari siswa sebanyak-banyaknya untuk menjaga eksistensinya. Kualitas pendidikan menjadi jasa yang harus dipasarkan ke masyarakat. Sekolah harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa konsep pendidikan yang diusungnya bagus dan berkualitas.

Di masa PPDB ini, sekolah favorit akan dicari masyarakat. Label "sekolah favorit" memang tidak ada ukuran pastinya. Ini didapat dari penilaian masyarakat. 

Sekolah negeri maupun swasta bisa mendapatkan label ini. Beruntung bagi sekolah swasta yang mendapatkan label ini. Ini menunjukkan kualitas pendidikan yang diberikan, diakui masyarakat. Masyarakat akan berbondong-bondong mendaftar ke sekolah ini, walaupun harus mengeluarkan biaya yang besar.

Sekolah Favorit di Kalsel (Sumber: sman-banuakalsel.sch.id)
Sekolah Favorit di Kalsel (Sumber: sman-banuakalsel.sch.id)

Realitas berbeda terlihat bagi sekolah negeri yang mendapat label ini. Masa PPDB adalah masa-masa yang paling sulit bagi kepala sekolah di sekolah-sekolah yang dilabeli "sekolah favorit". 

Ada saja orangtua yang mencoba meminta bantuan dari kepala sekolah untuk memasukkan anaknya. Belum lagi tekanan yang diberikan oleh orang-orang "khayangan" yang terkadang sulit untuk ditolak. Ini masih menjadi momok bagi dunia pendidikan Indonesia.

Memang benar pernyataan temanku di atas bahwa sekolah tidak mesti harus di sekolah favorit. 

Yang harus diutamakan adalah kenyamanan siswanya dalam belajar. Jika siswa tidak nyaman, walaupun masuk ke sekolah favorit, maka dia akan tertekan. 

Alih-alih mengharapkan prestasi yang terbaik, justru orang tua menjerumuskan anaknya sendiri.

Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah-sekolah yang punya label favorit tersebut memang memiliki kualitas yang berbeda. Kualitas sudah menjadi budaya yang mengakar di sekolah. 

Biasanya siswa yang masuk ke sekolah ini akan terbentuk kualitas dirinya karena mengikuti budaya sekolah yang memang sudah baik dari awalnya.

Tujuan pemerintah untuk memeratakan pendidikan memang mengharuskan ditiadakannya label sekolah favorit. Inilah mengapa peraturan zonasi ini ada. Tetapi ini tidak mudah untuk dicapai. 

Sulit untuk mengubah mindset masyarakat akan label sekolah favorit. Diperlukan kebijakan yang berkesinambungan untuk merealisasikannya.

Jika kita cermati, label sekolah favorit itu tidak selamanya merugikan, tidak selamanya menunjukkan pendidikan yang tidak merata. Baik buruknya pelabelan sekolah favorit di masyarakat sangat tergantung dengan pemahaman masyarakat. Masyarakat harus memaknainya dengan bijak.

Label ini bisa saja berdampak buruk, jika masyarakat justru melakukan praktik yang tidak sehat. Memanfaatkan kekuatan, kekuasan, dan pengaruh untuk memasukkan anaknya ke sekolah favorit. Hal inilah yang perlu diperbaiki.

Sebaliknya, ada juga dampak positifnya. Jika seluruh stakeholder pendidikan, pemerintah, guru, siswa dan orangtua bisa saling bersinergi, maka sangat mungkin satu sekolah favorit akan menelurkan sekolah favorit yang lain. 

Sekolah yang sudah dilabeli favorit bisa dijadikan sebagai center of excellent yang akan membantu sekolah yang lain. Kata Mas Menteri Nadiem, dibutuhkan guru penggerak dan sekolah penggerak untuk menghadirkan perubahan yang nyata bagi pendidikan Indonesia.

Alhasil, peraturan PPDB itu penting untuk menunjang pemerataan pendidikan dan kenyamanan siswa dalam belajar. Jika pendidikan merata, maka semua sekolah akan menjadi sekolah favorit yang akan memiliki budaya sekolah yang kuat untuk mendidik siswanya. 

Inilah harapan kita bersama. Siapkah kita menjadi masyarakat penggerak untuk merealisasikannya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun