Jarum pendek jam sudah berada di angka 3. Saatnya pulang, pikirku. Aku memasukkan buku ke dalam tas dan bergegas keluar kelas. Namun, ada sosok yang mencegatku di pintu. Itu Hanni, temanku.
"Ran, nonton yuk, film kesukaan kita sudah tayang sejak kemarin." ajak Hanni dengan muka antusias.
"Sama siapa aja?" tanyaku.
"Sama Manda, Salsa, Alya." jawab Hanni.
Ah, kenapa harus hari ini? Aku lelah dan ingin istirahat, kata hatiku, tidak bisa mengatakan itu ke Hanni. Takut dianggap sombong oleh mereka.
"Boleh deh. Aku izin mama dulu." jawabku dengan senyum paksaan yang tidak disadari Hanni.
"Pasti mama lo izinin. Gue yakin."
Aku menelepon mama dan meminta izin. Seperti dugaan Hanni, ia mengizinkanku, bahkan akan mentransfer uang jika kurang. Mama sangat senang setiap kali aku meminta izin untuk berpergian dengan Hanni. Ia merasa berhasil merubah kepribadianku menjadi terbuka kepada orang lain. Namun, hanya mama yang merasakan kesenangan itu. Berteman itu melelahkan. Aku harus menjadi pribadi yang disenangi mereka.
Kami berjalan bersama menuju mobil sedan putih yang sudah berisi Manda, Salsa, dan Alya.
"Haii Rana!" sapa mereka.
Aku membalas sapaannya dan duduk di baris ke dua. Manda fokus menyetir. Salsa dan Alya sesekali mengajakku berbicara tentang film yang akan ditonton. Sejujurnya, aku kurang menyukai film romansa seperti itu. Namun, aku harus terlihat menyukainya.
"Iya, cowonya ganteng banget. Aku ngefans sama dia." kataku saat ditunjukkan foto pemerannya yang menurutku memiliki muka pas-pasan. Seleraku memang beda dengan mereka.
"Tuh kan. Siapa coba yang gak suka dia?" kata Alya.
Aku hanya memberikan senyuman tipis dan mencoba menyusul Hanni yang sedang tidur.
-
Aku terbangun karena panggilan Alya. Ah, rupanya kami sudah sampai. Aku turun dari mobil dan menyusul mereka yang sudah bersiap ke lobby. Kami langsung menuju bioskop. Ternyata, bioskop dipenuhi banyak orang yang ingin menonton film itu, sama seperti teman-temanku. Melihat banyaknya penonton, kami tidak mungkin mendapat tiket hari itu.
"Yah, kok rame banget. Padahal ini kan weekday." seru Manda dengan muka tertekuk.
"Tau nih. Biasanya juga sepi." sahut Salsa yang sudah bete.
"Mungkin karena baru rilis kemarin." kataku pelan.
"Ah, males deh gue. Mending kita makan aja yuk. Kalo gak salah, Kintan Buffet lagi diskon jadi Rp. 150.000." ajak Hanni.
Aku menatap Hanni tidak percaya. Bagaimana mungkin ia rela menghabiskan uang sebanyak itu hanya untuk makan. Lebih baik untuk membeli novel baru, pikirku.
"Serius? Ih, murah banget. Ayo kesana!" seru Alya tidak sabaran.
Aku bergeming. Apa yang harus kukatakan untuk menolaknya? Dengan ragu, aku mengatakan "Eh, maaf. Gue gak ikut makan. Mama minta gue pulang sekarang.". Maaf ma, kupinjam namyamu dulu ya.
"Loh, kenapa? Kan mama lo udah izinin pulang telat?" tanya Hanni.
"Gak tau juga nih. Maaf banget ya, gue duluan. Supir gue udah otw mall katanya." kataku sambil menunjukkan ekspresi memelas.
"Ohh iya, gak apa-apa. Mungkin ada urusan penting di rumahmu. Hati-hati!" kata Manda.
Aku tersenyum dan melambaikan tangan ke mereka. Huft, akhirnya, kataku dalam hati. Aku segera menuju lobby untuk pulang. Saat melewati toko buku, ada sebuah novel yang menarik perhatianku. Aku langsung menghampiri dan mencari tahu harganya. Tertera angka Rp 150.000 pada labelnya. Novel tersebut kubawa ke kasir setelah membaca sinopsisnya. Suasana hatiku seketika membaik saat pegawai kasir menyerahkan belanjaanku.
-
Di perjalanan menuju rumah, aku mulai membaca novel baruku. Sesuai sinopsisnya, novel ini menceritakan perjalanan seorang perempuan bernama Renjana dalam mencari jati diri. Entah bagaimana, aku merasa cukup relate dengan Renjana.
Dalam novel ini, Renjana dikisahkan memiliki kehidupan serba cukup. Semua orang menyukainya karena ia ceria. Namun, tak ada yang menyadari bahwa semua itu hanya kepalsuan. Sebenarnya Renjana merasa kesepian. Orang tuanya selalu bekerja sampai malam, tidak ada waktu untuknya. Renjana hampir depresi, hingga akhirnya ia mencoba melakukan hal baru yang membuatnya semangat. Lama-lama, keceriaan Renjana bukan sebuah kepalsuan lagi.
Aku tertegun setelah membacanya. Mungkinkah selama ini aku hidup dalam kepalsuan? Pura-pura bahagia bersama teman, pura-pura memiliki selera yang sama dengan mereka. Ya, aku selalu berlaku seperti itu. Selama ini, aku tidak pernah menjadi diri sendiri dan berusaha menjadi orang lain.Â
Tekad ku sudah kuat. Aku bukan lagi Kirana yang pura-pura menyukai film romansa, Kirana yang menyembunyikan perasaannya karena takut dianggap sombong, bukan Kirana yang terpaksa mengikuti ajakan orang padahal tidak menikmatinya. Mulai sekarang, aku adalah Kirana yang sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H