"Wah, bagaimana ini Pak Haji? Sepertinya penunggu pohon sawo ini tidak mau pohonnya ditebang." salah seorang warga bertanya. Memecah keheningan sesaat setelah angin kencang.
Pak Haji hanya berdehem pelan.
"Lalu bagaimana dengan anak saya, Pak Haji? Bagaimana kalau dia tidak bisa bangun?" kecemasan yang hebat mulai menjalari Pak RW. Kekhawatiran Farel yang tidak akan bisa bangun.
"Kita cari solusinya bersama, Pak RW. Saya rasa pada saat sekarang ini, penunggu pohon ini memang sedang tidak ingin diganggu. Mungkin pada saat yang tepat nanti kita baru bisa mengambil tindakan menebang pohon ini. Betul kan, Mbah Dukun?"
Mbah dukun terduduk terdiam. Pandangannya kosong. Kulihat dia sudah beberapa menit seperti itu.
"Oh, maaf, Pak Haji." Mbah dukun mulai menguasai diri lagi. "Saya rasa kita tidak perlu mencoba untuk menebangnya kembali. Penunggu pohon ini memang tidak suka jika diusik. Saya pikir mungkin ada cara lain. Lagipula sebelum menebang tadi kita juga belum melakukan percakapan dengan sang penunggu."
"Lalu, kapan kita bisa bercakap atau mungkin semacam bertemu dengan mereka? Tolonglah anak saya, Mbah Dukun."
Mbah dukun menepuk bahu Pak RW sambil tertawa, "Tenang saja, Pak RW. Sebenarnya dari tadi Bapak sudah bertemu dengan mereka."
Nampak muka bingung dari para warga. Kening Pak Haji terlihat mengerut. Pak RW semakin bingung dan bertanya-tanya.
"Maksudnya bagaimana, Mbah Dukun?"
Mbah dukun hanya tersenyum tipis. Asap rokok menyembul dari mulutnya dengan mulus. Dia pun berjalan pergi meninggalkan pelataran. Orang-orang yang masih kebingungan itu juga ikut pergi meninggalkan pelataran dengan sebuah tanya yang belum terjawab.