Pemungutan suara yang melibatkan banyak pemilih, sangat rentan dengan unsur kecurangan, taktik kotor, provokasi, hingga intimidasi. Sehingga efek pra dan pasca penghitungan suara, menimbulkan rasa ketidakpuasan dan perpecahan di kedua belah pihak.
Pemilihan setingkat kepala desa saja, taktik kotor seringkali berlaku. Politik uang yang dibungkus aneka cara, sudah menjadi keharusan dalam setiap Pilkades. Belum lagi, Â kedua belah pihak saling berbalas provokasi dan intimidasi. Bagaimana juga dengan pemilihan setingkat Presiden?
Pada dasarnya, trik-trik lama dalam menggaet suara konstituen sudah bertukar warna. Namun helah-helah dalam mencari simpati konstituen, dibumbui adegan melodrama masih tetap dilakukan.Â
Pencitraan musiman, tegur sapa, Â dan senyuman yang tidak biasa dilakukan sebelumnya. Menjadi keharusan yang dipaksakan, demi meraih simpati dan suara konstituennya.
Saya tertarik dengan perkembangan Pemilihan Presiden di Amerika Serikat saat ini. Di mana sebuah negara yang mengklaim negaranya sebagai kiblat demokrasi dunia, masih rentan isu penipuan, kecurangan, atau taktik kotor.
Salah satu kandidat Pilpres Amerika, menuding ada penipuan dalam penghitungan suara, dan meminta proses penghitungan dihentikan. Bagaimana pula, negara yang teknologi Pemilunya lebih canggih, namun masih disinyalir ada kebocoran dalam proses penghitungan suara.
Kalau di Indonedia ada istilah "Serangan Fajar", dimana pada saat hari pemungutan suara, ada sekelompok oknum jor-joran membeli surat suara dengan harga di luar nalar kita.
Namun di Pilpres Amerika saat ini, serangan fajarnya berupa panggilan telepon misteri. Panggilan misteri dilakukan ke telepon seluler  jutaan orang Ameraka pada saat hari pemilihan.
Panggilan misteri yang disinyalir dilakukan ala Robocall ini, Â menghimbau semua orang untuk tetap tinggal di dalam rumah dan menjaga keamanan.
Andaikata isu ini benar, maka semakin melengkapkan perjalanan sejarah dunia, bahwa pemilihan presiden dalam dunia demokrasi, selalu dibayangi aneka trik taktik kotor.
Pada saat artikel ini ditulis, Â pasangan Joe Biden- Kamala Harris masih mengungguli pasangan incumbent Donald Trump-Mike Pence dengan total 253 - 213 (per jam 06.39 MYT).
Siapapun pemenangnya tidak akan banyak mempengaruhi suasana politik dunia saat ini. Karena politik dasar luar Amerika adalah tidak akan berubah.
Hanya saja kalau bisa berpesan, jangan sampai presiden yang menang menjadikan lawan kandidatnya, menjadikan menteri di dalam kabinetnya.
Karena demi menjaga hati para pendukung dan tim suksesnya, yang mati-matian mendukungnya. Kedua, biarlah yang kalah menjadi oposisi kepada yang menang. Menjadi alat pengontrol dan penyeimbang atas kebijakan dan perjalanan pemerintah. Roda pemerintahan yang dikendalikan pihak yang menang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H