Setelah sampai di Malaysia, saya bekerja di proyek bangunan sebagai kuli batu. Sebuah proyek bangunan besar bernama "Securities Commission", bersebelahan Pusat Sains Negara, Bukit Kiara, Kuala Lumpur.
Kejutan lingkungan begitu kurasakan sekali. Bagaimana tidak, di kampung tidak pernah bekerja sama sekali, namun di Malaysia bekerja terus menerus setiap hari. Mulai dari jam 8 pagi hingga 10 malam, melayani tukang plaster yang bekerja di tingkat bawah tanah bangunan (basement)
Keringat mengalir deras dari lubang pori-pori, membasahi kaos yang kupakai. Keadaan begitu pengap, disebabkan sirkulasi udara tidak begitu sempurna. Pencahayaannya kurang begitu terang, karena peralatan lampunya kami bawa sendiri. Untuk memudahkan perpindahan, dari ruang satu ke ruangan lainnya.
Walaupun memakai sarung tangan, telapak tangan memerah dan melepuh. Disebabkan pergesekan antara telapak tangan dan batang sekop pengaduk semen. Mungkin juga, karena saya terlalu memegang erat batang kendali kereta sorong pengangkut semen. Kata teman sekerja, itu hal yang biasa bagi yang baru bekerja, seminggu kemudian akan menjadi kebal juga.
***
Setelah dua bulan bekerja sebagai pelayan tukang plaster, Hari Raya Idul Fitri tiba (19/01/1999). Orang Malaysia sedikit berbeda menyebutnya, yaitu Aidil Fitri. Demikian juga dengan Idul Adha, mereka akan menyebutnya Aidil Adha.
Meskipun selama bulan Ramadan, puasa saya bolong-bolong, Saya sudah berjanji akan salat 'ied, bagaimanapun caranya. Karena di area rumah bedeng (kongsi) tempat saya tinggal, pelaksanaan salat 'Ied tidak didirikan. Hanya di masjid dan surau saja, pelaksanaan salat itu diadakan.
Masalahnya sebagai TKI ilegal, keluar dari pekarangan proyek bangunan, adalah sangat beresiko sekali. Apabila kepergok Polisi Malaysia ada dua pilihan, kalau tidak dibawa ke balai polisi, pasti akan kena uang bernilai seminggu kerja. Salat "Ied di luar adalah sebuah pilihan yang beresiko sekali, untuk dijalankan.
Akhirnya saya bulatkan tekad salat hari raya ke luar. Sebagai orang Madura, saya memakai sarung Lamiri dan baju taqwa berwarna krim, yang dibawa dari kampung. Sarung Lamiri berwarna sawo matang itu, hasil menjual kambing Emak saya, yang dipelihara tetangga sekampung.
Pagi-pagi sekali, tanpa sepengetahuan orang sekongsi, saya sudah berada di jalan besar, untuk menunggu taksi. Saya sudah nekat dan yakin, kalau pada hari raya, road block atau operasi berkenaan dokumen, di jalan tidak ada.
Tak lama Kemudian, sebuah taksi berwarna merah putih berhenti di hadapan. Kebetulan supirnya adalah lelaki separuh baya, berkebangsaan Cina.