Pasca krisis moneter yang menyerang Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan pada 1997, saya sering mengikuti perkembangan keempat negara tersebut. Terutama negara jiran terdekat, yaitu Malaysia.
Dampak api krisis moneter yang dihembuskan oleh George Soros itu, tidak hanya mempengaruhi bidang ekonomi saja. Namun stabilitas politik di negara terkait juga bergejolak. Bahkan puncaknya, sampai membawa perubahan kepemimpinan negara, Â seperti mana terjadi di Indonesia.
Suara-suara perubahan (reformasi) dari Indonesia, rupanya memberikan inspirasi kepada negara-negara tetangga lainnya. Khususnya Negara Jiran Malaysia dan negara bermata uang Peso, yaitu Filipina
Di Malaysia, terjadi konflik internal dan pergesekan kepentingan antara Perdana Menteri Mahathir Mohammad dengan dan wakilnya, Anwar Ibrahim. Konflik keduanya meluas dan melebar, karena sama-sama mempunyai pendukung yang juga banyak.
Sebagai negara yang paling dekat dan rapat, perseteruan Mahathir-Anwar mendapat ruang publikasi yang cukup luas di Indonesia. Sedikit-banyak, konflik internal ini diikuti orang Indonesia. Apalagi saat itu, Anwar Ibrahim dikenal cukup rapat dengan beberapa pelaku reformasi Indonesia saat itu.
***
Pasca pertukaran rezim Orde Baru 1998, keadaan ekonomi negara masih belum stabil. Lapangan pekerjaan terbatas, sedangkan angka pengangguran cukup tinggi dan meluas. Sehingga menyebabkan banyak orang merantau mencari kerja ke luar negeri, termasuk saya di dalamnya.
Ada dua negara pilihan yang menjadi pertimbangan saya waktu itu, yaitu Jepang dan Malaysia. Alasannya saya memilih Jepang karena tawaran gaji bulanannya tinggi, dengan nilai kurs yang stabil. Disamping itu, bisa transfer ilmu pengetahuan. Karena sistem pertanian di Jepang itu dijalankan serba teknologi, sehingga pulang nanti, bisa diterapkan di Indonesia.
Namun pilihan saya, malah jatuh pada negaranya Situ Nurhaliza, yaitu Malaysia. Alasan utamanya adalah faktor persamaan budaya, bahasa, dan agama. Walaupun dari segi ekonomi, saat itu keadaan Malaysia juga, masih belum pulih sepenuhnya dari dampak krisis moneter 1997
Faktor kedua adalah banyaknya pekerja Indonesia, khususnya Orang Madura di Malaysia. Sehingga senang beradaptasi dan memudahkan mencari peluang pekerjaan. Apalagi rayuan agen tengah (tekong) cukup memukau, sehingga mempengaruhi keputusan kami sekeluarga.
***
Akhirnya setelah proses pembuatan paspor selesai, Sang Tekong memberangkatkan saya ke Malaysia lewat Batam. Dari Madura ke Tanjung Priok Jakarta naik bis, dari Jakarta ke Batam naik kapal laut.
Baru dari Batam ke pelabuhan Stulang laut, Johor Baru, naik feri yang memakan waktu kurang lebih 2 jam perjalanan. Setelah itu, Tekong membawa  saya dan rombongan ke Kuala Lumpur. Enam jam perjalananan dengan bis dari Johor Baru.
Akhirnya saya diserahkan kepada kepala kerja plaster, di proyek bangunan yang berada di Bukit Kiara, Kuala Lumpur. Kepala kerja itu orang Madura, yang mempunyai anak buah sekitar 20 orang.
Barulah saya tahu, bahwa saya ke Malaysia bukan menggunakan visa/permit kerja. Tapi masuknya sebagai turis, yang visa tinggalnya hanya sebulan. Itupun setelah diberitahu, rekan sekamar yang sama-sama dari Madura.
Rupanya saya kena kelentong Sang Tekong. Termakan rayuan dan permainan kata-kata Tekong. Katanya masuk ke Malaysia masuk secara resmi, menggunakan paspor. Memang benar, masuknya resmi sebagai turis. Tapi sebulan kemudian, Â akan over stay dan menjadi ilegal di negara orang.
(bersambung)
#MenjaringMatahari (1)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H