Kuala Lumpur, 14 Juni 2020 ,- Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Malaysia mengadakan Webinar Internasional terkait dampak pandemi Covid-19. Webinar tersebut diadakan via Zoom pada hari ini (14/6), mengambil tema "Dampak Covid-19 terhadap aktualisasi keberagamaan di Indonesia dan Malaysia."
Ada empat Pembicara dalam webinar ini, diantaranya adalah Dr. Muhammad Ayman Al-Akiti, Ketua Lembaga Bathsul Masail Nahdlatul Ulama Malaysia (NA'AM) dan Dosen Universitas Islam Internasional Malaysia. Dr. M. Mahbubi Ali, Rois Syuriyah PCINU Malaysia dan Research fellow IAIS Selangor.
Dari Indonesia, diwakili Rumadi Ahmad, Staff Ahli Kepresidenan, Ketua Lakpesdam NU, dan Dosen UIN Jakarta. Serta Yon Mahmudi, Ph.D, Kaprodi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia. Serta Muhammad Taufiq Ahaz sebagai moderator, Wakil Ketua PCINU Malaysia, Dosen Fak. Syariah IAIN Madura, Kandidat Ph.D Universitas Islam Internasional Malaysia.
“Webinar internasional ini, merupakan webinar dengan topik Covid-19 pertama kali yang diadakan oleh PCINU Malaysia “
“Semoga hal ini akan memberikan manfaat kepada keberagamaan di Indonesia dan Malaysia, yang saat ini sedang sama- sama berjuang melawan wabah ini.”, kata Muhammad Abdullah Rois, Ketua Tanfidziyah PCINU Malaysia, dalam sambutannya.
Sedangkan Rois Syuriyah PCI, melihat dampak Covid-19 dari sisi maqashid syariahnya, terutama tentang perbandingan mana yang akan diutamakan antara Hifdzu Din (melindungi agama) dengan Hifdzu Nafs (melindungi jiwa). Beliau juga menambahkan bahwa teks-teks agama telah membicarakan bagaimana cara menghadapi sebuah wabah.
"Kehadiran Covid-19 memberikan peluang kepada kita, untuk mempelajari kembali teks-teks dalam menghadapi wabah."
"Agama telah memberikan solusi dan jalan keluar, baik yang disampaikan oleh Al-Qur'an, Hadith, maupun melalui kajian-kajian cendikiawan Muslim.", ujarnya sebagai pemantik bermulanya webinar.
Dr.Ayman dari Malaysia memaparkan tentang definisi antara taun dan wabah. Kemudian beliau menceritakan bagaimana Covid-19 bermula di Malaysia. Malaysia termasuk lambat dalam merespon datangnya wabah ini. Baru ketika kluster baru dideteksi melalui pertemuan Jemaah Tabligh Dunia, Malaysia mulai membatasi pergerakan rakyatnya untuk menghindari penularan lebih meluas.
"Adanya kluster-kluster baru bermunculan, menyebabkan pemerintah mengambil langkah berjaga-jaga."
"Salah satu contohnya adalah penutupan masjid oleh ulil amri atas nasehat Mufti, untuk menghindari kluster-kluster baru terbentuk."
Kemudian dilanjutkan oleh Pembicara selanjutnya, yaitu Rumadi Ahmad, Ketua Lakpesdam NU. Beliau melihat keberadaan Covid-19 ini dari sudut paradigma agama dan sains. Baik dari sisi paradigma independen, pendukung, integrasi, dan paradigma dialisis
"Di Indonesia dalam minggu terakhir ini, terjadi perdebatan saling menundukkan antara pro agama dan pro sains."
"Semestinya agama dan sains saling mengintegrasikan dalam menghadapi wabah ini, sains ada keterbatasan dan agama juga begitu."
"Mau tidak mau, akhirnya manusia harus mengadaptasikan kebiasaan baru, termasuk di dalamnya hal ibadah, seperti jarak shaf dalam salat."
Pernyataan Rumadi Ahmad di atas, ditimpali oleh Yon Mahmudi, Kaprodi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam dari Universitas Indonesia. Agama dan pengetahuan harus fleksibel dengan adanya perubahan (adaptif).
Beliau juga mengatakan,
"Menjauhi wabah jauh lebih baik, untuk menghindari penyebaran yang lebih besar, kita perlu jaga diri dan keluarga."
"Disaat kita begitu perhatian dengan kehidupan akherat, maka semestinya juga kita harus memberikan perhatian yang sama kepada kehidupan dunia.", ujarnya menutup pemaparanya dalam webinar ini.