Akibatnya, paspor mereka dicabut oleh pemerintah Orba, secara otomatis tidak mempunyai kewarganegaraan (stateless). Kemudian akses mereka ke instansi yang mengirim diputus. Sehingga mereka terdampar tanpa kewarganegaraan, di negara tempat mereka belajar.
Di samping paspor mereka otomatis dicabut oleh kedutaan Indonesia setempat, mereka memilih tidak pulang ke tanah air. Karena tahu, mereka pasti akan dipenjara, disiksa atau bahkan dibunuh oleh rezim saat itu.
Mereka semua ini disebut "Eksil", orang indonesia yang terasing jauh di luar negeri, karena situasi politik berbeda. Para eksil ini bukan hanya mahasiswa (Mahid) saja, ada juga dari kalangan seniman, diplomat, bahkan ada dari militer yang sedang tugas ke luar negeri kala itu.
Sepanjang rezim Orde Baru, mereka terlantar dan terasing di luar negeri. Ada yang sudah menikah dengan orang lokal di mana ia tinggal. Namun ada yang tetap konsisten dengan keyakinannya, sepertimana tokoh Jaya dalam film "Surat dari Praha".
Namun dalam masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia, 10 Desember 1999. Beliau mengundang para Eksil, agar pulang kembali ke Indonesia. Serta akan memulihkan hak-haknya sebagai warganegara Indonesia.
Saya cukup terenyuh, pada sebuah babak dalam film "Surat dari Praha". Dimana dalam sebuah acara pertemuan bulanan sesama para Eksil yang sudah tua renta, mereka menyanyikan lagu "Indonesia Pusaka" dengan penuh penghayatan sekali.
...
"Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI