Pandemi wabah Covid-19 mengajarkan kita makna kesabaran, konsistensi, dan muhasabah diri. Di satu sisi, wabah ini mengajarkan keingkaran, kepanikan, ke-plin-plan-an, dan kesalahfahaman.
Kita harus akui, Indonesia pada awalnya cukup menganggap remeh adanya wabah Covid-19 ini. Karena beranggapan belum ada kasus berarti di lapangan. Sehingga persiapan dan perancangan untuk menghadapi wabah ini terlambat, dan terkesan kalang kabut.
Ditambah lagi sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, tentang wabah ini kurang maksimal. Sehingga timbul banyak kesalahfahaman di lapangan. Apalagi ditambah media sosial dan narasi politisasi tentang wabah ini rancu. Sehingga hanya menambah kepanikan saja di dalam masyarakat sendiri.
Saya respek kepada para tim medis dan aparatur keamanan di garda terdepan. Hampir tiga bulan, mereka bertungkus lumus dan berjuang agar wabah ini, dibatasi penyebaran dan penularannya.
Saya salut kepada semua orang yang patuh dan memberikan kerjasama. Agar menjaga jarak pergerakan (social distancing) dengan tetap tinggal di rumah, dan bekerja dari rumah.
Ketika terpaksa keluar untuk kepentingan yang sangat mendesak, mereka dengan kesadaran diri memakai masker. Dan membawa hand sanitizer kemana saja, agar setiap kali bersentuhan segera membasuhnya  dengan cairan beralkohol tersebut.
Namun semua itu tidak bertahan lama. Keingkaran terhadap Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), terus menjadi-jadi kebelakangan ini. Entah di ibukota, maupun di pelosok desa
Mungkin kita masih memaklumi, bagi sebagian orang yang keluar rumah, untuk tujuan mencari rezeki. Khususnya bagi pekerja harian yang penghasilannya, berdasarkan kerja per hari. Namun prosedur diri tetap harus dilaksanakan, seperti memakai masker atau sering mencuci tangan dengan hand sanitizer, setiap melakukan dan bersentuhan dengan sesuatu.
Kadang kita seringkali berfikir, ketika menjaga jarak (social distancing) didengungkan oleh pemerintah. Masih banyak sebagian kita, acuh tak acuh dalam melaksanakannya. Miris sekali, apabila melihat kejadian di sebuah restoran, di Sarinah tempo hari. Banyak orang berdesak-desakan, hanya sekedar ingin merasakan sensasi terakhir restoran tersebut.
Ironi sekali, ketika banyak tempat peribadatan ditutup sementara waktu. Mengapa pasar-pasar dibiarkan beroperasi tanpa mengindahkan prosedur pencegahan yang yang dibenarkan. Dan mengapa juga mall-mall tetap beroperasi, sehingga mengundang perdebatan di dalam masyarakat.
Saya sepakat, saat pemerintah mengkampanyekan "Jangan Mudik" dalam perayaan ini. Pelaksanaannya langsung diterapkan, dengan menutup beberapa ruas jalan utama dan pintu-pintu tol di beberapa kota. Dan beberapa terminal bis dan stasiun kereta api, peraturannya ditambah dan diperketat operasinya.
Tapi mengapa untuk jalur udara, tidak dikenakan peraturan yang sama. Lihatlah kesesakan yang terjadi di Bandara hingga saat ini. Mengapa harus ada perbedaan antara jalur darat dan udara. Sehingga masyarakat menilai kebijakan pemerintah, terkesan plin-plan dan kurang koordinasi.
Entah apa yang terjadi setelah ini, apakah akan ada klaster-klaster baru bermunculan. Kita hanya mampu berdo'a, semoga wabah ini segera hengkang dari bumi ini.
Saya faham, Pemerintah saat ini berada dalam persimpangan antara kesehatan rakyat dan keberlanjutan pergerakan ekonomi negara.
Namun saya tetap yakin, kerjasama semua pihak dalam memerangi wabah ini sangat diperlukan. Disamping itu, pemerintah harus tegas dengan penerapan aturannya, sedangkan rakyat harus patuh juga dengan segala aturan yang diberikan. Insyaa Allah wabah ini, segera memudar dari bumi Indonesia.
Salam dari Kuala Lumpur
Mahfudz Tejani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H