Mohon tunggu...
Mahfudz Tejani
Mahfudz Tejani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bapak 2 anak yang terdampar di Kuala Lumpur

Seorang yang Nasionalis, Saat ini sedang mencari tujuan hidup di Kuli Batu Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur. Pernah bermimpi hidup dalam sebuah negara ybernama Nusantara. Dan juga sering meluahkan rasa di : www.mahfudztejani.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Mengintip Kehidupan TKI Ilegal di Malaysia

14 Februari 2015   22:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:11 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_351082" align="aligncenter" width="405" caption="Perempuan-perempuan tangguh yang bekerja tukang Batu di Malaysia (file pribadi)"][/caption]

Dengan ligatnya, tangan Jumailah menyekop pasir memasukkan ke dalam mesin molen (Mesin pengaduk semen) yang terus berputar. Sesekali Jumailah menghindar ke sebelah sisi molen, untuk menghindari percikan air semen yang bermuncratan keluar.

Beberapa meter di sebelah kanan Jumailah, Hamidah sedang sibuk menata batu bata di dalam kereta sorongnya untuk diangkat kepada dua tukang yang sedang menunggu untuk memulakan kerja yang menjadi rutinitas hariannya. Keringat pagi telah membasahi sebagian punggungnya, terlihat jelas dari kaos warna biru yang dipakainya.

Sedangkan Nuraini dan Saniyah sebagai tukang pasang batunya telah mempersiapkan segala peralatannya untuk segera memulai kerja-kerjanya. Dengan tangkas mereka berdua menceduk semen ke dalamnya tong kecilnya, sambil bergantian tangan kirinya memasang batu-bata dengan cepatnya.

Itulah rutinitas yang dialami dan dilakoni keempat perempuan muda tersebut setiap harinya. Mereka berempat adalah perempuan-perempuan asal pulau Madura dari sekian ribu yang ada di Malaysia, yang bekerja di sektor konstruksi (bangunan) . Mereka semua pekerja ilegal yang hanya mempunyai paspor saja, media Malaysia menyebut pekerja ilegal itu dengan sebutan Pekerja Asing Tanpa Izin (PATI). Tapi dulu menyebutnya lebih ekstrem yaitu dengan sebutan "Pendatang Haram".  Haram disini dalam bahasa Melayu bermakna sesuatu yang tidak sah atau tidak pada tempatnya.

Bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tidak berdokumen yang bekerja di sektor konstruksi begitu naif sekali keadaannya. Senantiasa diliputi rasa was-was dan penuh waspada dan takut apabila ada operasi imigrasi/polisi setiap waktu. Bagi yang bekerja di area projek pinggiran kota atau bandar, biasanya malamnya mereka tidur bersama-sama ke hutan berhampiran. Baru setelah Shubuh tiba, mereka mulai kembali ke rumah kongsi/bedeng yang berada di lokasi projek tempat bekerjanya.

Coba kita bayangkan:
Ketika tengah malam mereka sedang tidur di hutan, secara tiba-tiba hujan datang dengan derasnya. Bagaimana perasaan sengsara mereka? Bagaimana mereka menyelamatkan diri dari hujan? pernah suatu ketika, ada sepasang suami istri yang baru melahirkan dan anaknya baru berumur 2 bulan. Karena ada isu/kabar mau dioperasi di daerah tempat bekerjanya, maka mereka malam-malam tidur ke hutan berhampiran. Namun tidak disangka, tak berapa lama kemudian setelah baru merebahkan diri, hujan datang tanpa disangka-sangka.
Kalau anda yang berada di tempat sebagai pasangan  suami isteri tersebut, apa yang akan ada rasakan ?

Sebenarnya umumnya para TKI ilegal di Malaysia tersebut ingin mempunyai dokumen yang sah dan bekerja dengan aman nyaman tanpa rasa was-was. Tapi sayang kehendak mereka  hanya menjadi igauan belaka. Ketika terjadi program pengampunan dan pemutihan (6P) yang ditawarkan pemerintah Malaysia tempo hari, umumnya mereka menyambut baik dan mengikuti program tersebut untuk melegalkan diri.

Namun apa yang terjadi?
Keluguan dan kepolosan mereka menjadi santapan empuk pemangsa-pemangsa yang berselindung dibalik agen-agen yang tak wujud atau yang sudah didaftarhitamkan oleh kementerian Dalam Negeri Malaysia sendiri. Mereka harus mengeluarkan biaya RM4500 (Rp 15 juta ) hingga RM5500 (Rp18 juta) untuk melegalkan diri melalui program tersebut. Untuk mendapatkan uang sebanyak itu, mereka harus mengikat perut hampir 5-6 bulan lamanya.

Dan pada kenyataannya, program 6P tersebut dapat dikatakan gagal. Karena umumnya mereka setelah mengeluarkan uang sebegitu banyaknya, banyak yang tertipu dan tidak mendapatkan visa kerja seperti yang diharapkannya. Ada juga kasus yang sukses dapat visa kerja, namun pada sambungan tahun kedua dan ketiga sudah tidak bisa lagi.

Bayangkan, TKI di Malaysia kurang lebih hampir 3 juta jiwa dan  1,8 juta di dalamnya adalah TKI tak berdokumen (ilegal). Mulai dari yang hanya punya paspor saja atau over stay, hingga yang tidak mempunyai dokumen apapun. Kalau 1,8 juta TKI ilegal ikut program 6P dengan mengeluarkan rata-rata Rp15 juta, berapa Trilyun Rupiah uang TKI yang dikeluarkan untuk melegalkan diri?

Apakah permasalahan TKI ini memang sengaja dipelihara kedua belah pihak? atau sebagai bentuk modern perbudakan namun dibungkus oleh undang-undang? Seharusnya pemerintah jangan melihat TKI itu dari segi ekonomi saja, namun keringat dan airmata mereka hanya dihargai dengan rentetan  program pemutihan yang tak berkesudahan. Bahkan permasalahan seringkali hanya dijadikan tawar menawar diplomasi setiap pertemuan bilateral kedua belah pihak.

Sudah seharusnya pemerintah pro-aktif mulai sekarang berusaha untuk mengurangi pengiriman TKI ke luar negeri. Perbanyak lapangan kerja di dalam negeri dan tumpukan pembangunan ke daerah sumber basis TKI. Manfaatkan kekayaan sumber daya alam kita dan dilakukan bersama-sama peningkatan sumber daya manusia itu sendiri.
Apabila itu terlaksana, maka permasalahatan TKI itu akan meredup perlahan-lahan. Sehingga kedepannya nanti Indonesia akan bebas dari permasalahan kerja yang tak berkesudahan.
Insya Allah.

Salam dari Kuala Lumpur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun