Mohon tunggu...
Mahfud Achyar
Mahfud Achyar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - I am a storyteller based in Jakarta, Indonesia.

Undergraduate in Linguistics Studies, University of Padjadjaran, Bandung | Postgraduate in Corporate Communication Studies, Paramadina Graduate School of Communications, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Krisis, Ancaman Bagi Perusahaan

22 Januari 2016   16:00 Diperbarui: 22 Januari 2016   16:10 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Mahfud Achyar, M.IK.

[caption caption="Manajemen Krisis (Foto oleh: Rini Aprilia)"][/caption]Menurut Harrison (2008: 550) dalam Rachmat Kriyantononono (2012: 151-152), isu dan krisis berbeda. Ia menjelaskan bahwa isu adalah berbagai perkembangan, biasanya di dalam arena publik, yang jika berlanjut, dapat secara signifikan memengaruhi operasional atau kepentingan jangka panjang dari organisasi.

Isu adalah titik awal munculnya konflik jika tidak dikelola dengan baik. Menurut The Issu Management Council, jika terjadi gap atau perbedaan antara harapan publik dengan kebijakan, operasional, produk atau komitmen organisasi terhadap publiknya, maka di situlah muncul isu (Galloway & Kwansah-Aidoo, 2005; Regester & Larkin, 2008) dalam (Rachmat Kriyantononono, 2012: 152). Isu jika tidak dikelola dengan baik maka berpotensi menjadi krisis yang menjadi momok menakutkan bagi organisasi atau perusahaan. Kapan pun, dimana pun, dan dalam kondisi apa pun, kondisi krisis dapat menimpa organisasi atau perusahaan.

Krisis merupakan kondisi yang dikhawatirkan oleh banyak perusahaan atau organisasi. Devlin dalam bukunya Crisis Management Planning & Excution (2007:5) dalam Rachmat Kriyantono (2012: 171) mendefinisikan krisis sebagai “An unstable time for an organization. With a distinct possibility for an undersireable aoutcome”, sebuah situasi yang tidak stabil dengan berbagai kemungkinan menghasilkan yang tidak diinginkan.

Sementara itu, Seeger, Sellow & Ulmer (1998), seperti yang dikutip oleh Smudde (2001: 34) masih dalam Rachmat Kriyantono (2012: 172), berpendapat krisis sebagai “A spesific, unexpected, and noun-routine event or series of events that create high levels of un-certainty and threaten or are perceived to threaten an organization’s high-priority goals.” Dapat diartikan bahwa krisis biasanya bersifat spesifik, tidak diharapkan, dapat terjadi setiap saat dan merupakan rangkaian kejadian, menimbulkan ketidakpastiaan yang tinggi, dan dapat mengancam tujuan-tujuan organisasi.

Lantas apa dampak yang ditimbulkan oleh krisis? Menurut Rachmat Kriyantono (2012: 171), krisis dapat menyebabkan reputasi organisasi menjadi objek kritikan dan cemoohan masyarakat. Akibatnya, organisasi tersebut akan mengalami kerugian besar, misalnya menurunnya tingkat penjualan, modal, keuntungan, nilai saham, dan rasa percaya diri.

Reputasi merupakan hal yang penting bagi perusahaan atau organisasi. Anthony Bianco (2000) dalam Hardjana (2008: 2), menulis artikel berjudul The Enduring Corporation yang menyebutkan bahwa organisasi atau perusahaan yang lestari adalah yang memiliki daya adaptasi besar dan selalu mampu menemukan kembali dirinya (reinvent itself) untuk ekonomi global. Ungkapan “selalu mampu menemukan diri sendiri” berarti dengan seksama perusahaan mampu membina reputasi yang telah dicapai.

Buku The Crisis Manager: Facing Risk and Responsibility buku induk untuk manajemen krisis karya Lerbinger (1997: 19) dengan tegas menjelaskan bahwa di dalam krisis hanya dapat ditangani secara memadai bila organisasi memiliki sebuah strategic management plan yang lengkap. Di era yang penuh krisis ini (era of crisis), organisasi yang baik harus siap dengan perencanaan strategis, khususnya perencanaan untuk menghadapi situasi paling buruk (contingency planning: preparing for the worst).

Dalam berbagai kasus, reputasi perusahaan berimplikasi pada suistainability perusahaan atau organisasi. Jika perusahaan tersebut tidak melakukan reputation management saat terjadi krisis, maka dapat dipastikan perusahaan atau organisasi tersebut bisa jadi tidak dapat survive dan akan kehilangan kepercayaan dari publik. Namun jika perusahaan dapat mengantisipasi, mengelola, dan memulihkan reputasi, maka publik pun akan kembali bersimpati pada perusahaan yang terkena krisis.

Damayanti (2004: 10) menambahkan bahwa karakteristik krisis dapat terjadi secara tiba-tiba (suddenness), tidak menentu (uncertainly), dan keterbatasan waktu (time compression – decision stress). Sementara Ray O’Rourke dalam Argenti (2010:301) dalam Ressy Rahayuni (2013: 44), menyebutkan karakteristik-karakteristik krisis meliputi: (1) elemen kejutan; (2) tidak cukup informasi; (3) langkah kejadian yang cepat; dan (4) pemeriksaan intens. Karakteristik krisis tersebut dapat ditemui dalam setiap krisis yang terjadi yang disebabkan oleh berbagai hal. Sifat krisis yang cepat dan mengejutkan, memaksa organisasi untuk membuat persiapan-persiapan guna menanggulangi krisis yang terjadi. Krisis yang telah terjadi jika tidak ditangani secara tepat dan cepat, maka akan membawa kehancuran organisasi.

Menyadari bahwa krisis dapat menimpa organisasi atau perusahaan, maka diperlukan sebuah upaya untuk mengatasi krisis melalui serangkaian aktivitas. Devlin (2007: 1) dalam Rachmat Kriyantononono (2012: 180) mengatakan, “Crisis management is special measures taken to solve problems caused by a crisis.” Istilah solve diartikan bahwa upaya mengatasi krisis pada dasarnya merupakan proses bertahap (step by step).           Pada tahap awal, organisasi mesti membatasi persoalan atau area krisis untuk meminimalkan efek kerusakan bagi organisasi. Tujuan dari manajemen krisis adalah untuk menghentikan dampak negatif dari suatu peristiwa melalui upaya persiapan dan penerapan berbagai strategi dan taktik.

Menurut Gartner.com yang dikutip dari laman Jakartaconsulting.com, diperkirakan hanya 85% dari para perusahaan-perusahaan Global 2000 yang membuat rencana penanganan krisis dan hanya 15% yang menyusun rencana manajemen krisis yang lengkap. Fakta ini menunjukkan masih banyak perusahaan yang belum memperhitungkan beragam krisis yang mungkin terjadi dalam perencanaan bisnis mereka. CMP merupakan bagian yang penting dalam upaya krisis manajemen.

Dalam konteks manajemen krisis, reputasi perusahaan sangatlah ditentukan oleh tiga faktor persepsi publik: crisis responsibility, crisis history, dan prior reputational reputation. Crisis responsibility adalah atribusi publik tentang penyebab krisis dan siapa aktor yang bertanggungjawab. Crisis history adalah persepsi publik bahwa perusahaan pernah mengalami kasus yang sama di masa lalu, baik mencakup jenis krisisnya ataupun adanya kesamaan penanganan. Prior relational reputation adalah atribusi publik tentang berapa baik tingkat perhatian perusahaan terhadap publik. (Coombs, 2007a) dalam Rachmat Kriyantononono (2012: 362-363). 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun