Setelah menjalani dua pertiga masa hukuman, akhirnya Antasari Azhar –mantan ketua KPK ke-2 yang menjabat tahun 2007-2009– bisa merasakan udara bebas, meski bebas bersyarat. Bebasnya Antasari terbilang istimewa, karena bertepatan dengan hari pahlawan, sehingga pada momen kebebasannya yang cukup mengharukan itu, tidak aneh ketika ada yang berteriak “Merdeka! Merdeka!”.
Prestasi Antasari ketika menjadi ketua KPK cukup membanggakan. Ia dengan berani dan “lancang” menangkap para pejabat kelas kakap demi penegakan hukum. Kasus-kasus besar syarat kepentingan turut menjadi incarannya. Keberaniannya itulah yang membuat banyak pihak merasa “gerah”, sehingga Antasari “dijebloskan” dalam lingkaran kasus yang sama sekali tak diakuinya. Kegagahan itulah yang ditengarai banyak orang menjadi jalan mulusnya ke penjara karena terlalu berani ngobrak-ngabrik halaman rumah penguasa.
Sebelum masuk pada bahasan utama terkait judul di atas, mari kita bernostalgia sejenak. Dalam banyak berita, analisa, atau laporan yang bisa kita temukan dimana-mana, dihukumnya Antasari erat kaitannya dengan penguasa saat itu. Katanya, SBY merasa geram dan marah ketika Antasari berani menahan besannya. Hanya saja, waktu itu SBY menahan diri demi pencitraan karena hasratnya untuk kembali mencalonkan Presiden periode 2009-2014.
Antasari juga berhasrat untuk membongkar skandal Bank Century yang secara dramatis tak pernah selesai hingga sekarang. Tidak hanya itu, Antasari juga mengancam akan membongkar proyek IT KPU yang ketika itu, tendernya dimenangkan oleh perusahaan Hartati Murdaya (Bendahara DPP Partai Demokrat). Ia menjadi bola liar, yang membahayakan posisi banyak orang, termasuk para lingkaran dalam SBY ketika itu.
Sebelumnya, SBY menjadi pusat perhatian ketika ditengarai menjadi aktor politik yang menunggangi aksi damai 4 November lalu. Tercium juga adanya aroma mengikis legitimasi Presiden Joko Widodo. Jokowi tidak tinggal diam. Dengan informasi penting yang dimilikinya sebagai Presiden, Jokowi mulai berpikir serius atas ancaman tersebut, dan mulai memberikan sinyal-sinyal sebagai lampu indikasi dan perhatian. Lembaga konstitusional digerakkan untuk mendalami kasus-kasus yang mangkrak ketika SBY masih berkuasa. Untuk mendukung usaha itu, Jokowi mempunyai kartu As yang mampu dimainkan dan menjadi kunci untuk membongkar kejahatan masa lalu yang keji dan kelam. Kartu itu bernama Antasa Azhar, tumbal kebrutalan penguasa.
Nah, sekarang kita mulai menemukan titik temunya, kenapa dibalik bebasnya Antasari merupakan sinyal bahaya untuk SBY. Presiden Jokowi terlihat akan segera mengabulkan pengajuan grasi Antasari sebagai syarat diperolehnya kembali hak-hak konstitusional yang sampai sekarang belum didapatkannya. Dengan itu, Antasari bisa kembali beraktivitas sebagaimana biasa seperti sedia kala. Perlu diketahui, sebelum diperolehnya grasi, Antasari tidak bisa ngapa-ngapain, ia akan jadi pengangguran dan “gelandangan”.
Rencana pun dimulai. Antasari diproyeksikan untuk memegang jabatan kembali sebagai ketua KPK. Bagaimana caranya? Perlu diketahui, ketua KPK Agus Rahardjo yang saat ini sedang menjabat diduga tersangkut kasus korupsi e-KTP sehingga proses penggantiannya relatif lebih mudah. Atau kalau tidak, Antasari akan diplot untuk menduduki posisi Jaksa Agung.
Ketika ini terealisasi, maka SBY dan keluarganya harus berhati-hati. Jokowi, secara pelan dan cantik, ingin membongkar kasus SBY. Gurita Cikeas yang dulu sempat dianggap sumir, ternyata sedikit demi sedikit menemukan titik terangnya. Cikeas yang dari dulu santer didengar berada di pusaran kasus korupsi, harus hati-hati. Target yang akan ditembak, tentu beberapa proyek yang mangkrak, pada saat SBY berkuasa. Tidak tanggung-tanggung, kerugian negara ditaksir triliunan dari proyek-proyek tersebut.
Jokowi sudah secara pasti meminta KPK untuk menyelidiki proyek yang mangkrak selama tujuh sampai delapan tahun itu. Jokowi bahkan “menodong” BPKP untuk segera menyelesaikan audit dan segera melapor kepadanya (Kompas, 3/11/2016).
Proyek yang diduga merugikan negara itu adalah proyek pengadaan 7.000 megawatt listrik, yang sampai hari ini tak juga selesai. Hitung-hitungan yang dilakukan oleh BPKP, menurut Pramono Anung, untuk membayar 34 proyek dari 7.000 megawatt itu, negara menghabiskan Rp4,94 triliun!. 12 proyek, dari 34 proyek itu, dipastikan tidak bisa dilanjutkan dan berpotensi merugikan negara 3,76 triliun, sementara 22 proyek lainnya bisa dilanjutkan lagi asalkan ada tambahan biaya baru sebesar Rp4,68-Rp7,25 triliun (wartakota.tribunnews, 3/11/2016).
Selain proyek yang mangkrak itu, tentu saja kasus mangkrak yang merugikan negara triliunan rupiah bernama Mega Skandal Bank Century. Terutama ketika banyak pihak menyebutkan, bahwa Anggodo dan Anggoro termasuk penyumbang dana terbesar bagi kemenangan SBY saat mencalonkan lagi pada tahun 2009.
Tak kalah sadis dari proyek itu, adalah proyek Hambalang yang menyeret-nyeret nama Ibas namun sampai saat ini masih untouchable, meski namanya beberapa kali telah disebut dalam persidangan, termasuk oleh Angelina Sondakh (rimanews, 7/1/2016). Ibas akan menjadi incaran untuk menindak-lanjuti kasus Hambalang, yang ketika Jokowi menyempatkan diri untuk berkunjung kesana, ia hanya geleng-geleng kepala. Hambalang telah memakan banyak korban, termasuk Anas Urbaningrum yang telah menjadi tumbal karena berani melawan rezim.
Ibas. Ya, Ibas. Anak muda dengan kekayaan fantastis dengan tanpa sumber penghasilan yang jelas!. Tidak hanya Hambalang, Ibas diduga terlibat dalam beberapa kasus korupsi pada zaman bapaknya berkuasa. Sebut saja ketika namanya, pada tahun 2009, disebut sebagai orang yang ikut menikmati dana talangan sebesar Rp 500 miliar. Pada tahun 2013, ia juga dikaitkan dengan kasus korupsi SKK Migas. Sutan Bhatoegana bahkan secara gamblang menyebut bahwa Ibas menekan mantan kepala Migas Rudi Rubiandini. Sutan akhirnya berani jujur, saat SBY tak lagi menjabat sebagai presiden. Dosa-dosa Ibas mulai tampak terang, ketika sebelumnya hanya remang-remang.
Dengan fakta-fakta yang mulai terungkap dan kemungkinan akan diproses itu, tentu kita tidak kaget ketika pihak-pihak Cikeas mempunyai sumber dana yang kuat. Tidak hanya untuk memobilisasi massa, tapi juga untuk “ditabur-taburkan” menjadi bingkisan sembako saat Agus berkampanye kemarin. Sehingga tidak aneh, ketika bendera Agus berkibar dikantong-kantong penduduk miskin, seperti Kemayoran, misalnya. Selain itu, tentu kita tidak bisa menutup mata terhadap pemberitaan di media yang memperlihatkan keakraban Agus dengan Habieb Riziq, yang semakin menguatkan dugaan publik, bahwa memang ada aktor-aktor politik yang menunggangi dibalik demonstrasi 411 kemarin.
Pantas saja Jokowi marah. Ia menyadari ini merupakan cara licik, yang tidak hanya ingin menghancurkan Ahok (dengan dugaan penistaan agama), tapi juga ingin meniarapkan Anies (mengait-ngaitkannya dengan sosok Buni Yani yang sekarang juga lagi diobral).
SBY, saat ini bukanlah siapa-siapa kecuali sebagai mantan presiden dan ketua partai. Ia tidak punya akses lagi untuk tuding sana-tuding sini. Ia bukanlah pemegang kendali, bukan pula penerima informasi urgen dari lembaga negara bernama BIN. Begitu pula dengan keluarganya. Ibas sepertinya mulai ketar-ketir, dan begitu juga dengan Agus yang mulai menunjukkan perilaku hampir serupa.
Bebasnya Antasari menjadi sinyal, bahwa keluarga SBY berada dalam bahaya. Antasari merasakan dinginnya hotel prodeo untuk kasus pembunuhan, yang sampai sejauh ini tidak pernah dibenarkannya. Berbagai upaya hukum mental, meski dalam kasusnya ditemukan banyak kejanggalan dan keanehan. Ada banyak rekayasa dan settingan. Hal ini diakuinya beberapa saat setelah menghirup udara bebas, dengan sangat yakin ia mengatakan ada yang mendatanginya untuk meminta ini-itu dan melarang ini-itu, tapi ia menolaknya. Setelah itu, ia selesai. Sebagai orang hukum, ia legowo dan menghormati keputusan.
Sinyal bahaya ini, bukan untuk membalas dendam. Bukan. Tapi Antasari akan senang bekerja untuk menegakkan hukum yang telah lama ditiarapkan; untuk menegakkan kebenaran. Ini adalah sinyal yang mengerikan untuk SBY, Ibas dan Agus Harimurti. Presiden Jokowi adalah presiden yang cerdas, dia tahu siapa yang bermain api, maka dia akan meniupkan badai agar pembakar api ludes terbakar. Dan publik akan semakin cerdas membaca pola politik Pilgub rasa Pilpres ini.
Salam Kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H