Mohon tunggu...
Ismun Faidah
Ismun Faidah Mohon Tunggu... lainnya -

seorang penulis lepas yang sangat lepas menuangkan ide dalam sebuah cerita hingga lepas, tuntas. menuju sebuah karya yang..ia biarkan mencari jalannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku dan si psedonymous itu

14 April 2014   03:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:43 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

dan ranting-ranting kembali mengering di ranggas kemarau. ah ya, bagiku kemarau meski hujan berkali-kali jatuh membasahi baju, celana jeans biru ketatku dan soulder bag Guess yang sempat aku dekap erat saat berlari-lari turun dari taksi menuju terminal Grogol.

kemarau itu jauh lebih keparat karena menyerang wilayah rasa: kemarau cinta dan segala magisasi bertuah bencana yang mengarak jadi butiran luka.

dan kemarau salah musim itu membuatku lebih sial. aku tak kebagian tiket bus AC eksklusif yang bisa membuatku tertidur nyenyak dalam perjalanan malam ini. aku musti berdesakan duduk dengan pekerja mabuk di jok belakang dan mengumpat dalam hati akan polusi asap rokok yang sepertinya sengaja dipresentasikan untuk membuat kemarau jiwaku bertambah parah. aku batuk. mereka mabuk. ngigau entah apa. namun aku tak takut diperkosa. aku tak takut mereka menjamahku karena...karena sepertinya mereka memandangku seperti perempuan simpanan reskrim. aku bebas duduk dengan mereka. menghirup aroma alkohol yang berbaut dengan odor mereka yang....asem-kecut-bau-belerang-sangit-rokok dan amoniak! hingga bus bergerak meninggalkan Jakarta pun, bau itu masih saja menyengat. baru sekitar setengah jam bau itu benar-benar melenyap. berganti hayalan...berganti gambar terang tentang sebuah hotel yang baru saja aku tinggalkan.

***

"Cocktail?" tanyanya di salah satu meja kaca sebuah bar. tempat pertama yang dia tulis dalam pesan YMku dan membuatku harus berkeliaran seperti orang hilang mencari keberadaan tempat mungil nan eksklusif yang tak begitu padat pengunjung. hingga terkesan classy dengan pertunjukan live jazz. musik itu mengalun, menjadi backsound perbincangan kami.

"aku suka yang ori." jawabku seramah mungkin.

"French White Wine?" tawarnya lagi.

aku menggangguk. sesloki white wine bordeoux souvignon memang menghangatkan dan menyegarkan. aroma apel yang lembut malt di dinding atas mulut.namun sungguh, aku tak ingin mabuk. karena mabuk membuat imajinasi akanmu semakin membumbung Bee... dan aku tak mau mengecewakan klienku dengan cara menyebut namamu sepanjang intercourse itu....

lelaki itu memanggilku evelyn. nama yang aku perkenalkan ketika pertama mulai ngobrol lewat chattingan YM. di dunia kami, psedonymous bukanlah hal yang baru. kami cenderung menggunakan nama-nama palsu,identitas palsu dan segala apa untuk mengamankan diri kami. karena kalau kami jujur akan identitas diri, mereka akan dengan mudah melacak. bahkan, kalau mereka berniat mafia, mereka akan mengacak-acak ketenangan kami. seperti temanku beberapa bulan lalu dibunuh di kamar hotel oleh kliennya yang memendam cinta, tapi dibakar cemburu oleh profesionalismenya sebagai pelacur.

mungkin, psedonymous terlalu paranoid. namun inilah caraku, cara kami, menutupi jati diri, terutama nama sebagai tameng agar keberadaan kami tak terlacak. meski ketika ada kasus terjadi, kami akan menjadikan urusan forensik jauh  lebih lama.

dengan volvonya, kami menyusuri senayan city menuju hotel yang dia minta, untuk merahasiakan namanya karena tak ingin melibatkan nama-nama dalam percintaan terkutuk itu. dia bekerja di bagian kriminal. wajahnya yang maskulin membuatku sempat jatuh cinta dan melupakan hayal keparat bnersama Bee. namun aku tahu, dia lelaki yang  sepertinya telah lihai bermain perempuan. aku tahu, aku bukan perempuan pertama yang dia  sewa. dan bagaimanapun, aku masih menuruti nasihat si Goleman untuk  working with emotional intelligent.

dia memang manis. pembawaannya yang santai namun waspada membuatku sedikit terkesima. dia bahkan sempat menyita handphone berkamera milikku, memastikan pintu terkunci sempurna, memeriksa apakah ada canded camera, memeriksa apapun...sebelum memulai bercinta.

dia tak begitu binal. dia hanya memintaku straight sex dan dua style yang biasa digunakan ketika bercinta. doggy style dan woman on top. setelah ritual itu selesai...dia berkemas, mengambil handuk, mandi sendiri. sedang aku masih berbungkus selimut bahkan ketika dia sudah ganti t-shirt dan celana jeansnya. dia mengambil rokok di atas side table ranjang, menyulut dan menghisap penuh nikmat. aku merasakan kegelisahannya. merasakan bahwa ada masalah besar yang sedang dia alami. aku mencoba bangkit dan memeluknya dari belakang.

"sepertinya kamu gelisah?" tanyaku sok tahu. "apakah soal pekerjaanmu?"

dia menoleh, tersenyum, menghadiahiku dengan kecupan di bibirku. "enggak kok. biasalah. tugas."

aku tak mau membicarakan lebih lanjut menyangkut tugas yang dia sebut. karena tak ada gunanya aku tahu. duniaku memang berbeda bukan? meski sebenarnya, di balik itu, aku punya misi lain yang lebih kejam untuk mempertajam hasil investigasiku.

namun dia bercerita...cerita yang mengalir tentang jiwanya yang terobang-ambing menentukan keputusan yang tepat. karena yang dia tangani adalah atasannya sendiri. dan ini....antara respektifitas dan tugas negara.

"ikuti hatimu. karena ini bukan cuma masalah tugas negara. namun harga diri bangsa. harga dirimu sebagai amanat rakyat."  kataku menggenggam hangat tangannya. dia terperangah mendengar nasehat sok dewaku hingga tatapan mata yang tadi tajam, perlahan meredup, menghangat. sepertinya, wine yang kami reguk sebelum intercourse ini turut menyumbang peran. karena...karena dia...kembali menyulut asmara itu. hingga gemeletar birahi terkuak kembali. sepertinya dia butuh mandi lagi....

dan sepertinya aku telah mandi peluh lagi ketika bus berhenti di SPBU lama sekali untuk mengisi BBM. mandi yang sempurna...

***

di dalam bus yang masih dipenuhi bapak-bapak berbau belerang ini, pikiranku semakin kehilangan arah. aku hanya terpejam...merejam semua kebiadaban rasa ini. ah, ya? kalau aku mengaku Evelyn, siapa nama asli lelaki itu? dia tidak mungkin Anton seperti yang dia perkenalkan. aku yakin dia bukan anton. tapi siapa?

ah sial, aku terkena bumerang psedonymousku sendiri....

Jakarta, 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun