Mohon tunggu...
fariq mahesa candra kerti
fariq mahesa candra kerti Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mahasiswa prodi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia angkatan 2023

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Kejahatan Seksual di Balik Kecerdasan Buatan

26 September 2023   21:37 Diperbarui: 26 September 2023   21:48 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era di mana zaman kian berkembang pesat dengan hadirnya teknologi yang tak dapat luput dari kehidupan sehari-hari, membuat dunia yang serba digital perlu diamati perkembangannya lebih lanjut.Alih-alih menjadi salah satu bentuk sarana edukatif yang mampu membuat penggunanya lebih bijak, perkembangan teknologi tersebut justru membawa pengaruh negatif yang patut diwaspadai. Bukan hanya membawa pengaruh negatif terhadap diri sendiri namun juga dapat berpengaruh terhadap orang lain baik dari segi fisik, verbal, maupun psikis.

Dengan munculnya Chat GPT yang dikembangkan oleh OpenAI, yakni sebuah laboratorium penelitian kecerdasan buatan yang berpusat di Ohio, suatu negara bagian Amerika Serikat yang tidak akan lepas dari polemik sosial  dengan menghasilkan sisi positif tetapi juga negatif.

Dengan sistem yang dioperasikan melalui Chat GPT, hal ini tentu memunculkan tindak kejahatan, salah satunya kejahatan dalam ranah seksual. Untuk memperdalam pembahasan lebih lanjut, berikut paparan terkait kejahatan seksual yang mana bersembunyi di balik kecerdasan buatan dengan kajian perspektif sosiologi.

ChatGPT (Chat Generative Pre-trained Transformer) merupakan chatbot yang dikembangkan oleh OpenAI berdasarkan GPT-3.5. ChatGPT memiliki kemampuan untuk berinteraksi dalam bentuk teks percakapan dan memberikan respon layaknya manusia. Dari sekian banyaknya fungsi ChatGPT yang positif, masih banyak yang memanfaatkan teknologi tersebut untuk kepuasan tersendiri, misalnya dengan memasukkan fantasi seksual pribadi kemudian chatbot tersebut akan menghadirkan cerita fantasi yang sesuai dalam bentuk teks maupun suara. Hal itu tentu saja di gunakan oleh orang-orang yang mencari kenikmatan seksual. Ia melepaskan fantasi seksualnya menggunakan ChatGPT.

Belum lagi saat ini chatGPT tidak hanya menghadirkan fitur menjawab dengan teks namun fitur baru yang dapat mengedit foto, dimana foto siapapun dapat diubah menjadi foto yang mengarah ke pornografi. Tentu saja itu adalah hal yang meresahkan dimana bisa saja hari ini seseorang mengupload foto di suatu media sosial lalu tak lama foto tersebut disalahgunakan. Bahkan foto tersebut di perjual belikan oleh orang yang tak bertanggung jawab dengan menggunggah di platform lain. 

Tentu saja hal ini menakutkan karena bisa saja hal ini terjadi pada kita. Bila ada seseorang yang tidak menyukai kita lalu mengedit foto kita merujuk kepada pornografi lalu menyebarkannya di media sosial itu akan menyebabkan berita hoaks di masyarakat dan tentu saja mencoreng nama baik seseorang. Tak perlu waktu yang lama untuk mengedit foto tersebut dengan bantuan ChatGPT dalam hitungan detik foto hasil rekayasa tersebut akan selesai. Jika dibiarkan kejadian ini akan semakin merebak jika tak di tangani dengan baik menghasilkan keresahan dimasyarakat pun akan semakin memuncak.

Terdapat juga kasus yang dilansir dari (www.independent.co.uk) dimana ChatGPT secara salah menuduh seorang profesor hukum di Amerika melecehkan muridnya. 

ChatGPT memasukan Profesor Jonathan Turley dalam daftar pakar hukum yang telah melakukan tindakan pelecehan seksual. ChatGPT tersebut mengutip sebuah artikel yang bahkan tidak pernah ada. Hal ini juga membuktikan bahwa tak selamanya ChatGPT itu benar dan bisa saja Chat GPT memiliki potensi untuk menimbulkan hoaks di dunia maya. 

Bahkan jika hoaks tersebut disebarkan lalu semua orang menyebarkannya lagi, akan menyebabkan berita bohong tersebut menjadi terlihat sebagai fakta. Hal tersebut bisa di sebut Post truth era dimana kebohongan atau berita hoaks dapat menyamar menjadi kebenaran. Dengan cara memainkan emosi dan perasaan pembaca. Jika terus dibiarkan Kejadian serupa akan terus terjadi di masyarakat. Masyarakat pun akan semakin resah tentang kasus serupa, dimana bisa saja kita yang akan menjadi  korban dari kebejatan manusia lainnya.

Berbicara dinamika ChatGPT di masyarakat, sosiologi mengidentifikasi bagaimana kesenjangan yang  terjadi dalam semua aspek masyarakat dengan pendekatan sosiologi yang kritis dan holistik, mengidentifikasi hubungan antara manusia dan kesenjangan yang ada. Menunjukkan jalan menuju perubahan sosial struktural dimana perubahaan tersebut berada di dalam diri sang korban. 

Sebagai contoh korban yang fotonya di edit menjadi hal pornografi  lalu ada oknum yang tidak bertanggung jawab menyebarkan foto tersebut ke platfrom sosial media yang lain akan menyebabkan sang korban merasa malu. Ia akan cenderung mulai menutup diri akibat foto tersebut walaupun itu hanya editan belaka. Belum lagi pandangan masyarakat yang diarahkan padanya akibat foto tersebut. Masyarakat akan cenderung menganggap foto tersebut adalah sebuah fakta.

OpenAI menyediakan banyak sekali fitur untuk menggunakan Artificial Intelligence seperti ChatGPT, DALL.E, dan API. Hal ini dapat berdampak baik maupun buruk. Contoh dampak baik dari penggunaan ChatGPT ini adalah dapat memudahkan manusia dalam mendapatkan informasi, namun terdapat contoh buruk dari penggunaan ChatGPT ini berupa berita hoaks.

Bukan hanya dalam bentuk teks, penyalahgunaan teknologi ini juga berupa pembuatan konten pornografi dari public figure atau artis dalam bentuk foto yang diedit menggunakan teknologi AI. Fenomena ini sudah banyak terjadi dimedia sosial. Bahkan ada beberapa artis yang melaporkan editor-editor yang menyalahgunakan teknologi ini ke jalur hukum.

Pembentukan moral di dunia maya, harus semakin digaungkan. Karena penguatan moral ini bisa membentengi diri agar tidak terjerumus ke dalam hal yang negatif. Dalam konteks penggunaan ChatGPT, dll, perlu adanya pengajaran kepada pengguna teknologi agar lebih menghargai privasi orang lain. Selain itu, penumbuhan rasa simpati terhadap orang lain dan diri sendiri juga menjadi penting, karena dengan menumbuhkan rasa awareness kedalam diri kita, dapat membuat kita menjadi lebih hati hati dalam menyebarkan informasi pribadi ke media sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun