Menerima hasil pembahasan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait gratifikasi dokter, menimbulkan sederetan kebingungan. Pasalnya, berdasarkan pendapat Eddy OS Hiariej, yang diundang dalam pembahasan tersebut sebagai ahli hukum, menyatakan profesi dokter (termasuk dokter swasta) dapat dikualifikasikan sebagai “pegawai negeri” yang termasuk dalam adresat Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001.
Eddy OD Hiariej memberikan empat alasan utama yang menjadi dasar pernyataan tersebut, sebagai berikut :
- Profesi dokter diatur oleh suatu undang-undang (UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran) yang menjadi payung hukum berlaku tidak hanya bagi dokter dan organisasi dokter, namun berlaku juga bagi pasien yang merupakan bagian dari masyarakat umum.
- Dokter dapat berpraktik karena mendapat Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dalam arti ada campur tangan Negara untuk dokter dapat berpraktik di Indonesia.
- Dokter menjalankan fungsi layanan publik atau layanan umum bagi masyarakat sebagai pasiennya.
- Profesi dokter adalah kepanjangan tangan Negara dalam bidang kesehatan.
Pandangan ini jelas memberikan “kegalauan” bagi saya, dan dapat dipastikan bagi seluruh dokter swasta di seluruh tanah air, karena menghadirkan kebingungan. Dalam pandangan hukum, situasi ini dapat dikategorikan sebagai “ketidakpastian hukum”, atas dasar pertimbangan sebagai berikut :
- Jika dokter swasta juga dikategorikan sebagai pegawai negari, mengapa hak-haknya sebagai pegawai negeri tidak diberikan sebagaimana pegawai negeri lain?
Jika kajian ini sepenuhnya menggunakan referensi hukum yang sama, di dalam Undang-Undang No.5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Pasal 7 ayat (1) menyebutkan PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki nomor induk pegawai secarai nasional. Sedangkan yang dimaksud Pejabat Pembina Kepegawaian didefinisikan di Pasal 1 butir 14 adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan pembinaan Manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut dijelaskan di Pasal 53, bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya, dan pejabat fungsional keahlian utama kepada :
- menteri di kementerian;
- pimpinan lembaga di lembaga pemerintah nonkementerian;
- sekretaris jenderal di secretariat lembaga Negara dan lembaga non structural;
- gubernur di provinsi;
- bupati/walikota di kabupaten/kota.
Dari tiga pasal di atas, dokter non PNS tentu tidak dapat dikategorikan sama dengan “pegawai negeri”, karena :
- tidak memiliki nomor induk pegawai
- tidak diangkat berdasarkan surat pengangkatan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian