Ada pepatah yang mengatakan hidup seperti roda yang terus berputar kadang kita di atas, kadang kita dibawah, kadang bisa di tengah -- tengah.Â
Sudah ada masa tersendiri untuk manusia meraakan kehidupan di atas atau di bawah, ada juga yang hanya merasakan di atas atau di bawah seperti tetangga ku yang bernama Mbah Kemi.Â
Beliau tinggal sebatang kara di usia nya yang menjelang 84 tahun. Banyak pengalaman hidup dan kisah yang tetanggaku sampaikan ketika aku berkunjung ke rumahnya.Â
Cerita dimulai ketika beliau masih kecil yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara tinggal di daerah pedalaman dan pegunungan dengan sulitnya akses jalan juga belum ada penerangan dengan energi listrik.Â
Beliau tidak sekolah karena dari segi faktor ekonomi yang kurang mampu untuk biaya sekolah. Kegiatan sehari -- harinya adalah membantu orangtua mencari kayu bakar di hutan atau membantu pekerjaan di sawah / tegal yang ada di hutan.Â
Karena mempunyai lahan yang ada di hutan yang mana ada banyak berbagai macam hewan liar dan ganas yang masih berkeliaran, mengharuskan orang tua Mbah Kemi untuk menjaga malam disana. Karena jika musim tanam seperti padi tidak dijaga di malam hari akan dirusan oleh babi hutan, monyet, dam ayam liar.Â
Terkadang Mbah Kemi juga ikut jaga sawah di malam hari. Alasan beliau iku jaga karena pemandangan malam hari di hutan sangat cantik, taburan bintang di malam hari, kunang -- kunang, suara burung hantu dan burung gagak mendukung suasana alami yang nyaman di malam hari.
Namanya juga di alam apalagi hutan yang masih jarang terjamah kehidupan tentunya ada banyak bahaya yang mengancam.Â
Pernah suatu ketika saat Mbah Kemi jaga malam di sawah seperti biasanya ketika di perjalanan beliau mencium bau busuk bangkai. Karena beliau mengira itu bau bangkai hewan liar jadinya menganggap angin lalu.Â
Keesokan paginya ketika ditengah jalan pulang beliau dan ayahnya menjumpai jejak ular yang sangat besar, memang disana kata ayah beliau ada ular besar (Anaconda) dan tanda -- tanda ular itu ada di sekeliling kita adalah bau busuk bangkai yang menyengat.Â
Ada juga di suatu malam ketika jaga sawah juga beliau heran karena tumben ayahnya membuat api unggung mengelilingi rumah pohon, memang selain di sawahnya ada gubuk ada juga rumah pohon dengan ketinggian dari atas sekitar 20 meter.Â
Api unggun ini berfungsi untuk menghindari serangan hewan buas ketika tidur, karena tidak mungkin bisa melindungi diri ketika tidur dan benar saja ketika tengah malam hari percaya atau tidak ada seekor harimau yang mendekat mengelilingi api unggun sekitar 10 menit.
Dari pengalaman masa kecil beliau saya sudah bisa mengambil hikmah bahwa sudah semestinya saya harus bersyukur karena dibandingkan dengan masa kecil beliau yang seharusnya dihabiskan bermain dengan teman -- teman malah digunakan untuk membantu orang tua.
Setelah masa kecil saya kembali mendengarkan cerita bagaimana pengalan beliau di masa remaja sampai bertemu dengan Almrhumah istrinya.Â
Karena tidak sekolah beliau merantau ke luar kota sebagai kuli bangungan dan membantu jualan kelapa. Dari pekerjaan inilah beliau bertemu dengan Alamarhumah istrinya yang menikah pada tahun 1967.
Kehidupan rumah tangganya meskipun dengan kehidupan ekonomi yang minimalis berjalan dengan gembira, susah senang mereka lewati bersama.Â
Hingga 35 tahun pernikahan mereka lewati di pagi hari Mbah Kemi terheran karena tumben waktu shubuh istrinya belum bangun, karena biasanya sebelum adzan shubuh berkumandang istrinya sudah bangun untuk melakukan kegiatan sehari -- hari entah untuk shalat atau menyiapkan sarapan.Â
Beliau pikir mungkin karena kecapaian dia tidak membangunkan istrinya. Ketika sinar matahari sudah memasuki rumah melewati sela -- sela jendela Mbah Kemi berniat membangunkan istrinya, namun yang beliau hadapi tubuh istrinya sudah dingin dan kaku. Setelah di periksa oleh dokter dari puskesmas istrinya di nyatakan meninggal sekitar sudah enam jam.
Pemakaman istrinya tidak dihadiri oleh kerabat karena memang tidak punya dan orang tuanya pun sudah meninggal beberapa tahun setelah beliau menikah.Â
Mulai dari situ beliau menjalani kehidupannya sebatang kara karena tidak dikaruniai anak. Masak, Bertani, cari uang beliau lakukan sehari -- hari.Â
Berbekal pengalaman beliau menjadi kuli saat remaja dengan kinerjanya yang bagus Alhamdulillah upah yang beliau dapatkan masih mampu digunakan untuk kebutuhan se hari -- hari.
Namun karena faktor usia yang semakin bertambah tentu saja tenaga beliau semakin beerkurang tidak sekuat di usia muda apalagi sebagai kuli bangunan dibutuhkan tenaga ekstra untuk bekerja, tidak cukup jika mengandalkan penghasilan beliau sebagai kuli bangunan sehingga lahan kecil di belakang rumah beliau jadikan kebun untuk menanam kopi, pisang, nangka, dan kelapa. Sekarang beliau menghabiskan waktu dengan mengurus kebun.
Kesedihan beliau tidak sampai disitu saja, Â ketika kopi yang seharusnya beliau panen tiba -- tiba hilang karena dicuri bukan hanya kopi tetapi pisang juga sering di curi.Â
Usut punya usut yang mencuri adalah tetangganya sendiri dan mereka ternyata sudah terkenal di lingkungan penduduk sebagai pencuri. Jika mereka ketahuan mencuri entah itu cabai, kacang panjang, jagung ataupun yang lain mereka terlebih dahulu menyebarkan berita palsu, seperti memutar balikkan fakta.Â
Karena Mbah Kemi memiliki hati yang baik beliau hanya ber do'a kepada Allah SWT. supaya dosa mereka di ampuni dan di maafkan segala perbuatannya.Â
Mungkin hanya Mbah Kemi yang berdoa yang baik untuk mereka tidak dengan warga lain yang memiliki dendam tersendiri karena kita juga tidak pernah tahu apa isi hati seseorang kecuali orang tersebut dan Allah SWT. mungkin hukum karma atau adzab?Â
Salah satu anggota keluarga mereka ada yang terkena penhyakit ber bulan -- bulan dan dinyatakan meninnggal dunia. Mbah Kemi melanjutkan ceritanya, ketika pemakaman hujan turun deras disertai petir, pelayat yang datang pun juga sedikit hanya kerabat dan warga sekitar yang mau mengugurkan kewajiban kita untuk merawat jenazah.
Jika warga banyak membenci keluarga yang terkenal dengan mencuri tadi berbanding terbalik sifat warga kepada Mbah kemi. Memang beliau terkenal dengan orang yang baik, sabar, ramah dan di waktu muda suka membantu warga sekitar tanpa mau di kasih upah.
Dari cerita Mbah Kemi dapat diambil hikmah bahwa kita sebagai makhluk sosial sudah wajib dan harus selalu berbuat baik. Meskipun kita mendapat perilaku tidak baik dari orang lain, kita cukup membalasnya dengan kebaikan dan ber doa supaya mereka mendapat syafaat dari Allah SWT. karena kebaikan akan dibalas kebaikan begitupun sebaliknya, keburukan akan mendapat ganjaran yang setimpal di akhir.
Saya ucapkan terimakasih kepada beliau yang mau berbagi pengalaman kepada beliau. Mohon maaf apabila artikel yang saya tulis menyinggung suatu pihak tertentu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI