Penyimpangan cara berpikir dan berprilaku mahasiswa saat ini bisa dipastikan adalah gejala dari sebuah penyakit akut yang terus bahkan semakin diderita negeri ini. Realitanya telah tersaji seperti tontonan yang umum dijumpai disekitar kita, lihat saja, penganiyayaan yang berujung tewasnya mahasiswa UII dan STPI yang baru baru ini terjadi, kasus mahasiswa Perbanas yang tewas bunuh diri dan serangkaian kasus kasus yang marak diberitakan media merupakan indikasi dari “penyakit” yang sedang diderita mahasiswa. Kejadian diatas sekali lagi hanya sebuah gejala, tinggal menunggu waktu sampai saat gejala ini benar benar menjadi sebuah penyakit akut yang berbahaya. Bukankah gejala diatas sangat jelas terlihat didepan mata kita?, lalu bagaimana dengan gejala yang eksistensinya sulit untuk dideteksi, namun keberadaanya adalah sebuah masalah yang tidak bisa disepelekan. Faktanya arus globalisasi telah menyeret pemikiran mahasiswa, membawa paham hedonis, individualis, dan konsumerisme masuk kedalam pemikiran mereka
Dewasa ini, slogan slogan dan tagline perihal produk yang diperjual belikan kian hari semakin memadati ruang media elektronik kita. Yang kita bahas disini bukanlah produk, dalam arti konvensional. Sebelumnya kita harus melihat arti produk dari spektrum yang lebih luas. Sadar atau tidak, segala hal, tidak hanya yang berkaitan dengan barang, namun juga perilaku bisa menjadi produk. Sebut saja kecantikan, parameter atau tolak ukur dari kecantikan yang saat ini diakui oleh masyarakat kita bukan lagi tolak ukur manusia melainkan tolak ukur pasar. Sehingga secara sadar atau tidak sadar, manusia telah menirmanusiakan manusia itu sendiri. Lihat saja bagaimana mahasiswa tergila gila oleh style yang terus berganti tanpa ada hentinya. Terus menerus mencetak generasi mahasiswa yang labil, tidak percaya diri, dan mengekor pada trend.Rela mengorbankan segalanya seakan akan mereka lahir hanya untuk mengejar kesenangan. Citra mahasiswa sebagai Agent of Social Control telah tercoreng oleh sikap “Hedonisme” sebagian besar kalanganya.
Hedonisme adalah budaya yang sangat meracuni pikiran dan cara berprilaku mahasiswa saat ini. Sikap ingin enak, sikap acuh terhadap sesama, sikap individualis, sudah menjadi bagian dari hedonisme manusia saat ini. Hal ini seakan telah menghilangkan esensi dari kuliah. Yang terpenting menurut mereka adalah kuliah sekedar untuk mendapatkan uang yang pada akhirnya hanya untuk kesenangan jasmani mereka saja. Kita bisa menyimpulkan bahwa hedonisme mahasiswa mengarah kepada Eksistensi, hanya untuk tetap eksis untuk tetap dilihat orang, menjadi pusat perhatian dengan mengikuti arus budaya konsumerisme yang hanya akan menguntukan kaum konglomerat dan kroni kroninya. Sebegitunya mengejar eksistensi sampai sampai menghilangkan “Esensi” dari kuliah yang sebenarnya.
Penjabaran diatas adalah potret realita kehidupan mahasiswa saat ini. Budaya konsumsi yang didominasi pemikiran kapitalis mensyaratykan adanya produk yang dijual untuk memenuhi hasrat konsumsi mahasiswa semata. Persis seperti apa yang disampaikan Adam Smith dalam The Wealth of Nation. Dalam bukunya beliau menegaskan tentang hakikat manusia serakah. Beliau telah memberitahu kita bahwa pada dasarnya manusia memang memiliki sifat rakus, tamak , Individualis. Namun kiranya pemahaman tersebut sangat Bertabrakan dengan common sense (pemahaman umum) bahwa manusia adalah makhluk sosial. Sifat individualis dan Hedonisme akan terus menyerang sendi sendi kehidupan mahasiswa. Tapi idealnya, mahasiswa dengan citranya sebagai “Agent of Social Control” harus mampu berpikir lebih kritis, lebih ,mendalam terkait dengan gejala penyakit yang sedang merebak ini. Dan bukan malah ikut terseret arus besar hedonisme. Mengkutip apa yang dikatakan oleh legenda mahasiswa kita, Soe Hok Gie.
“Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk merdeka”
Sebelumnya kita harus sepakat bahwa merdeka dalam konteks kali ini adalah merdeka dari paham hedonisme akut yang menyerang pemikiran mahasiswa.
Lalu bagaimana hedonisme dalam organisasi?. Dapatkah kita benar benar memahami realitas dari kemahasiswaan saat ini?. Sudah seberapa jauh pemahaman mahasiswa tentang organisasi?. Apakah organisasi mahasiswa saat sudah semakin usang saat berhadapan dengan pengaruh kuat dari budaya kapitalis yang hedonis dan pragmatis?. Atau selama ini nama besar organisasi kemahasiswaan malahan digunakan sebagai bagian dari usaha mereka untuk memperoleh kesenangan saja. Memperkokoh eksistensi mereka dengan mencari pamor dan berlagak paling berkuasa dibalik nama besar organisasi tempat mereka bernaung. Pertanyaan pertanyaan tersebut ditujukan untuk diri kita sendiri sebagai mahasiswa. Organisasi mahasiswa kini dihadapkan dengan musuh yang sangat besar. Musuh yang juga merupakan penyakit seperti yang telah dijabarkan diatas. Hedonisme yang membuat mahasiswa hanya menginginkan eksistensi saja. Ada beberapa indikasi yang menempatkan organisasi sebagai wadah yang mengokohkan budaya hedonis dikalangan mahasiswa. Seakan sudah menjadi mindset bahwa ada beberapa organisasi yang prestisius, bergengsi dan sempurna untuk menunjang eksistensinya. Salah satunya adalah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Dari namanya saja, “Eksekutif” sudah mengarah kepada kalangan elite, sebuah posisi penting, dan kekuasaan yang membawa anggotanya menuju popularitas. Pada akhirnya, BEM hanya akan menjadi sasaran pemuas hasrat para hedonis pengejar eksistensi yang bisa mengkikis esensi dari BEM yang sebenarnya.
Saya akan coba mengilustrasikan perihal eksistensi dan esnsi dalam gambaran yang lebih sederhana. Sebut saja ada sebuah makanan ringan dalam kemasan bermerk “Tora”. Eksistensi bisa dianalogikan sebagai kemasan, dan merknya. Sedangkan Esensi bisa dianalogikan sebagai isi dari makanan ringan tersebut. Apabila mahasiswa lebih memilih eksistensi sebagai tujuan utamanya. Maka yang tercipta hanyalah sebuah bungkus kosong dengan kemasan mewah bertulisan “Tora”. Sedangkan apabila mahasiswa memilih esensi, maka yang tercipta adalah sebuah makanan ringan dengan kemasan yang sederhana tapi memiliki kualitas tinggi. Jadi sebagai mahasiswa dalam bingkai organisasi, mana yang harus didahulukan?. Eksistensi yang mengejar popularitas, atau esensi yang mengemban visi dan misi awal hingga tercapai tujuan yang hakiki?. Semua itu tergantung dari tindakan mahasiswa itu sendiri. Dalam kubangan besar hedonisme dan eksistensi dikalangan mahasiswa, organisasi harus berpikir ulang tentang esensi inti dari organisasi. Mari kesampingkan dulu tentang Planning,Organizing, Actuating, dan Controlling. Ada hal yang jauh lebih penting dari itu semua. Ini tentang kesadaran, kesadaran kita dalam berorganisasi sangat dan harus diutamkan. Kenapa berorganisasi?, Apa yang ingin kita capai?, Apa tujuan awal? Visi dan Misi?. Dan akhirnya, apakah kita ingin esensi atau eksistensi?
Organisasi didefinisikan sebagai kelompok orang dalam suatu wadah untuk tujuan bersama. Maka dari itu tujuan dari berorganisasi harus jelas dan terarah. Penyatuan visi dan misi yang kemuidan dituangkan dalam kegiatan kegiatan untuk melayani kebutuhan yang lebih nyata. Menyelesaikan masalah yang lebih essensial pada tatanan kebangsaan dan tatanan almamater. Tatanan alamamateer yang mencakup tridharma perguruan tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian, Pengabdian Masyarakat. Bukan hanya Kesenangan, Kesenangan , dan Kesenangan. Kita semua sepakat bahwa berorganisasi adalah sarana pembelajaran yang menunjang , diluar ruang kuliah. Namun sejatinya organisasi hanyalah sebuah barang mati, kecuali ada orang orang yang aktif ingin memberikan nafas dan nyawa bagi organisasi tersebut.
Buang jauh jauh pemikiran usang bahwa organisasi adalah tempat untuk refreshing. Lebih dari itu, organisasi adalah tempat belajar banyak hal dalam hidup. Kita tidak lagi memiliki ruang yang cukup untuk menonjolkan ke-aku-anku saja karena masih banyak ke-aku-anku yang lain. Sehingga membendung hasrat pribadi adalah hal yang wajib hukumnya dalam organisasi. Dari sinilah kita bisa “menaklukan” hedonisme yang mengerikan tersebut. Mungkin kondisi ini memunculkan sebuah kontradiksi dimana Organisasi yang sebelumnya dianggap sebagai tempat untuk memuaskan hasrat para hedonis nyatanya juga bisa menjadi langkah awal yang sempurna untuk menaklukan hedonsime tersebut. Semuanya tergantung bagaimana mahasiswa mahasiswa memberikan nyawa kepada organisasinya.
Perbaikan presepsi adalah hal yang mutlak dibutuhkan. Belakangan kita kerap kali menempatkan kuliah dan Organisasi sebagai sesuatu yang bersebrangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa organisasi akan menyita waktu untuk kuliah. Dan tentu saja kita tidak bisa berharap akan menjalani kuliah seperti biasa dan aktif dalam organisasi secara bersamaan. Sekali lagi ini adalah sebuah pilihan yang harus diambil. Apakah kita ingin bertahan dalam keadaan kita saat ini atau merubah paradigma untuk kemudian keluar dari “zona nyaman”. Tidak ada yang bisa kita lakukan jika kita masih menempatkan kuliah dan organisasi dalam posisi yang bersebrangan. Mengubah mindset “kuliah untuk kerja” dengan “kuliah untuk hidup yang lebih baik”. Melihat kuliah dengan spektrum yang lebih luas serta memulihkan citra mahasiswa sebagai Agent of Social Control dengan menaklukan hedonisme dikalangan mahasiswa itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H