Mohon tunggu...
Mahendra Yana
Mahendra Yana Mohon Tunggu... -

Pelajar kelas X SMA N 1 Gianyar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Esensi Pendidikan Karakter: Keras Bukan Berarti Tegas

14 Desember 2016   21:22 Diperbarui: 14 Desember 2016   21:36 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.tamavoiture.fr/

Sangat menyedihkan saat melihat kondisi pendidikan indonesia di era sekarang ini. Banyak berita yang kurang mengenakan tersebar di media sosial. Mulai dari kasus guru yang dipukul orang tua murid yang anaknya dimarahi. Ada juga guru yang nyaris dipenjara karena dilaporkan dengan tuduhan “kekerasan dan penganiyayaan”. Pemberitaan di media membuat guru seakan merasa dikekang oleh hukum yang melarang tindak kekerasan terhadap para peserta didik. Hal ini menjadi alasan jitu bagi para guru untuk mengendorkan ketegasanya terhadap para murid. Kekendoran yang berujung pada merosotnya kualitas moral dan karakter para siswa.

Saya tidak pernah merasakan secara langsung bagaimana kondisi pendidikan Indonesia dimasa lalu. Tapi saya kerap kali mendengar cerita para guru tentang metode pendidikan tempo dulu, dimana guru dan orang tua merasa leluasa dalam menghukum seorang anak dengan mengatasnamakan “Pendidikan Karakter”. Terkadang saya muak mendengar cerita yang terdengar dilebih lebihkan seakan kekerasan adalah tindakan “Maha Benar” sebagai satu satunya jalan untuk “Membentuk Karakter”. Karakter yang bagaimana?, apakah mereka mengharapkan karakter siswa yang tangguh menghadapi pukulan dan kekerasan?

Atau mungkin mereka mengharapkan karakter siswa yang budiman dengan rasa hormat tinggi kepada guru?. Kalau memang itu yang diharapkan maka hal yang didapatkan akan jauh dari ekspetasi. Pendidikan yang penuh kekerasan hanya akan menghasilkan produk manusia manusia “Gagal Moral” yang lebih parah dari sekarang. Produk manusia yang karakternya telah dibunuh oleh apa yang gurunya sebut sebagai “Pendidikan Karakter”. Saya heran melihat banyaknya guru dan orang tua yang memiliki paradigma bahwa metode belajar dan mengajar tempo dulu dengan rotan dan kayu lebih “Efektif” dari pada sekarang. Maka dari itu semua orang perlu tau perihal bagaimana tindak kekerasan dalam pendidikan karakter melahirkan  produk manusia gagal moral.

Bagaimana tindak kekerasan dalam pendidikan karakter melahirkan produk manusia gagal moral

Sedikit mengkutip perkataan dari Martin Luther King Jr:

Returning hate for hate multiplies hate, adding deeper darkness to a night alredy devoid of stars. Darkness cannot drive out darkness: only light can do that. Hate cannot drive out hate: only love can do that

Kutipan diatas telah menyingkap sebuah kebenaran yang seakan tenggelam dipikiran masyarakat yang masih bertahan dengan pendirianya yang mengatasnamakan pendidikan karakter untuk melakukan kekerasan. Kelompok masyarakat yang lebih memilih untuk membungkam anaknya dengan tamparan dan makian. Membalas kebencian dengan kembecian malah akan melipat gandakan kembencian tersebut. Anda tidak bisa melihatnya, karena kebencian ini ada didalam diri seorang anak yang jiwanya telah digelapkan. Sesuatu yang  tidak keluar lewat kata kata, namun mengalir lewat air mata disertai dengan jeritan penuh derita. 

Para komponen pendidik baik itu guru atau orang tua menganggap kekerasan sebagai media untuk membentuk kedisiplinan, namun  perlu diingat bahwa saat seorang anak mengalami kekerasan rasa sakit yang mereka rasakan tidak hilang seiring dengan sembuhnya memar memar ditubuhnya. Rasa sakit itu akan terus tumbuh mengikuti pertumbuhan karakter yang sudah dirusak sejak awal. Masa kecil yang penuh dengan kegelapan akan membuat mereka memiliki pola pikir yang jauh dibawah rata rata anak anak pada umumnya. Pola pikir yang cenderung kearah radikalis.

Violence is the problem, not the solution

Ya, kekerasan adalah masalah, bukan sebuah solusi. Anda hanya akan menghadapi masalah dengan masalah apabila anda menganggap kekerasan sebagai solusi. Sudah saatnya semua komponen pendidik mengubah stigma negatif mereka tentang metode pendidikan yang mereka anggap “memanjakan” anak anak.

Mewujudkan metode pendidikan yang ideal

Anda memberikan argumentasi yang menentang pendidikan yang tegas dengan kontak fisik. Tapi bagaimana dengan metode pendidikan saat ini yang telah memberikan bukti nyata merosotnya moral generasi muda yang tidak menghormati guru?

Sebuah pertanyaan yang jawabanya adalah  solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi sekarang ini. Mau kita apakan metode pendidikan yang kendor ini?. Tidak bisa dipungkiri bahwa memang pada kenyataanya metode pendidikan Indonesia sekarang ini telah melahirkan generasi yang juga bisa dikatakan “Gagal Moral”. Namun bukan berarti kita harus melangkah mundur dan kembali kepada metode pendidikan dengan kayu dan rotan karena perlu diketahui bahwa penghapusan kekerasan dari jalur pendidikan merupakan sebuah keberhasilan yang tak ternilai harganya. Seluruh komponen pendidik harus menyadari bahwa masih ada cara lain untuk membentuk karakter seorang anak.

Jadilah contoh yang baik bagi anak

Mengharapkan karakter seorang anak yang baik adalah hal terbodoh yang pernah anda lakukan apabila anda sendiri belum memilikinya. Ciptakanlah lingkungan yang baik bagi perkembangan karakter anak. Karena perilaku orangtua adalah salah satu acuan bagi perilaku mereka.

Mengarahkan jiwa kemanusiaan seorang anak dengan dorongan keinginan luhur

Hate cannot drive out hate: only love can do that

Inilah tantangan sebenarnya bagi orang tua dan guru. Pendidikan karakter bukan hanya sekedar membuat seorang anak tunduk kepada peraturan yang anda tetapkan. Esesnsi dari Pendidikan karakter yang sebenarnya adalah tentang bagaimana cara mengendalikan, dan mengarahkan perkembangan karakter mereka menuju pribadi yang bukan hanya disiplin, tapi juga bijaksana dan berbudi luhur. Dan ya, only love can do that, saat mereka berbuat kesalahan maka jangan sentuh fisiknya, tapi sentuhlah hatinya. Buatlah anak anak malu dengan perbuatan merela dengan kasih sayang yang anda berikan. Jika ISIS bisa mengendalikan pemikiran anak anak kecil dengan mudah, kenapa orang tua dan guru tidak bisa.

Mendidik dengan kasih sayang, bukan berarti memanjakan anak anak

Mendidik anak dengan kasih sayang bukanlah hal yang mudah, karena anak anak butuh waktu untuk memahami apa yang sedang coba ditanamkan pada dirinya oleh karena itulah orang tua dan guru harus memiliki kesabaran extra. Jangan anda sama artikan dengan “Memanjakan”. Karena memanjakan lebih cenderung kearah mengabaikan kesalahan anak anak. Lain halnya dengan metode pendidikan yang saya maksud dimana anda tidak boleh mengabaikan kesalahan mereka sekecil apapun.

dan terakhir, sekali lagi saya tegaskan. Violence is the problem, not the solution

https://www.facebook.com/profile.php?id=100004866616834&fref=nf&pnref=story

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun