Kabar duka yang hadir dari dunia hukum Indonesia pada 28 Februari 2021 seakan menghentakkan seluruh masyarakat anti korupsi. Sang bintang keadilan, Artidjo Alkostar telah pergi untuk selama-lamanya.
Kematian Artidjo hanya selang sehari sebelum Hari Kehakiman Nasional yang jatuh pada tanggal 1 Maret 2021. Mungkin hanya kebetulan tapi bisa juga menjadi sebuah pertanda bagi penegakan anti korupsi.
Jika melihat ulang sejarahnya, Hari Kehakiman Nasional ditetapkan setelah PP nomer 94/2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim muncul pada bulan Maret 2012. Sejak itulah 1 Maret diperingati sebagai Hari Kehakiman Nasional.
Sampai era Orde Baru boleh dibilang kekuasaan kehakiman Indonesia dibelenggu sedemikian rupa. Belum ada aturan tertulis mengenai hak-hak seorang hakim. Hanya ada tercantum mengenai tanggung jawab seorang hakim.
Setelah era reformasi bisa dikatakan menjadi tonggak awal munculnya aturan-aturan terkait profesi hakim. Puncaknya yaitu di bulan Maret 2012 dengan adanya PP Nomor 94/2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang baru ditetapkan pada tanggal 29 Oktober 2012.
Gaung Hari Kehakiman Nasional ini seperti tenggelam oleh berita kematian mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar. Saat ini beliau masih merupakan anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan korupsi untuk periode 2019-2023.
Sebagai mantan Hakim Agung yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI, beliau banyak mendapat sorotan. Berbagai keputusan yang diambil sering kali berbeda pendapat dengan hakim lain di banyak kasus besar yang ditanganinys. Sehingga issue dissenting opinion mengemuka di zaman beliau.
Artidjo yang lahir di Situbondo pada tanggal 22 Mei 1948 mengambil gelar Sarjana Hukumnya di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Sementara gelar Master Hukumnya diselesaikan di North Western University di Chicago.
Tidak banyak yang tahu bahwa asal nama Artidjo berasal dari Artijja yang berarti tukang protes. Sedangkan Alkostar berasal dari Alkautsar yang salah dilafalkan oleh ayahnya saat akan dituliskan oleh petugas Catatan Sipil.
Kesederhanaan beliau ditunjukkan dalam tingkah laku sehari-harinya. Mulai dari mengontrak rumah sederhana dengan biaya sendiri di daerah Kramat Kwitang, Jakarta Pusat saat belum mendapat jatah rumah dinas. Hingga tak sungkan untuk naik ojek dan bajaj demi menuju kantor Mahkamah Agung sewaktu belum mendapat kendaraan dinas.
Artidjo Alkostar bak bintang keadilan yang menerangi kegelapan dunia peradilan di Indonesia. Dissenting opinion yang sering dilontarkannya sedikit banyak menggugah mata publik di tengah keraguan akan independensi hakim saat berhadapan dengan kasus-kasus korupsi.