Mohon tunggu...
Mahendra Paripurna
Mahendra Paripurna Mohon Tunggu... Administrasi - Berkarya di Swasta

Pekerja Penyuka Tulis Baca, Pecinta Jalan Kaki dan Transportasi Umum yang Mencoba Menatap Langit

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Andai Semua Tahu Sengsaranya Terinfeksi Covid-19, Mungkin Vaksin Akan Menjadi Rebutan

25 Januari 2021   17:35 Diperbarui: 26 Januari 2021   12:19 2803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Perdebatan mengenai vaksin covid-19 sepertinya tidak akan pernah usai. Ada yang mempertanyakan perlu tidaknya, hingga keraguan akan efikasi, efektivitas dan efek samping vaksin sinovac yang disiapkan oleh pemerintah. Sementara penyebaran virus ini semakin meningkat dan terus memakan korban di penjuru dunia.

Data terakhir penyebaran virus covid-19 tgl.24 Januari pasien positif bertambah 11.788. Ini berarti total angka positif covid-19 di Indonesia menjadi 989.262 kasus. Sementara pasien yang meninggal bertambah 171 orang sehingga total ada 27.835 orang yang meninggal.

Pergerakan angka yang luar biasa cepatnya. Total angka positif covid siap tembus 1 juta penderita. Jika dilihat semakin hari semakin banyak jumlah penderita yang terdeteksi positif. Padahal slogan 3M sepertinya sudah demikian sering kita dengar. Tapi sepertinya kedisiplinan masyarakat masih rendah dalam menerapkan protokol kesehatan.

Sementara berdasarkan informasi terakhir sepertinya baru ada dua cara yang di anggap paling ampuh untuk mencegah penularan virus ini. Melalui vaksinasi dan juga plasma darah. Karena bagaimanapun usaha mengobati akan percuma jika tanpa ada tindakan pencegahan.

Andai saja orang tahu betapa sengsaranya terinfeksi covid-19. Mungkin banyak yang akan berbondong-bondong mengajukan diri untuk menerima vaksin. Dan vaksin pasti akan menjadi rebutan.

Saya merasakan sendiri bagaimana sengsaranya menjadi penderita covid-19. Berawal dari batuk-batuk biasa yang kemudian mulai timbul demam yang membuat tubuh menggigil serasa di kutub utara. Padahal jika dicek dengan alat termometer justru suhu berada di atas 38 derajat celcius.

Apakah itu saja? Tidak. Saya juga merasakan gangguan pada lambung yang membuat asam lambung naik. Nafsu makan menjadi turun drastis dan sulit untuk BAB, beberapa orang malah justru mengalami diare. Karena kurangnya asupan makanan juga membuat tangan gemetar, sulit tidur dan kaki sering kram. Badan juga rasanya pegal dan remuk tak karuan.

Selain itu beberapa keluhan juga saya rasakan seperti kepala sering terasa pusing. Beberapa orang juga mengalami kehilangan indera pengecap dan penciuman seperti yang dialami anak saya. Puncaknya ketika dada mulai terasa sesak yang membuat saya kesulitan untuk bernafas.

Saya juga terpaksa harus beristirahat menjalani rawat inap cukup lama di rumah sakit dengan infus dan selang oksigen yang terpasang di hidung. Hal ini dikarenakan saturasi oksigen saya jauh dibawah normal. Menurut dokter, saturasi yang rendah membuat saya beresiko untuk mengalami henti nafas.

Selain seputar gejala penyakit yang membuat saya menderita. Saya juga harus berpisah dengan anak dan isteri. Isteri yang negatif covid membuat ia harus juga dipisah dengan kedua anak saya yang terdeteksi positif.

Anak-anak yang belum pernah lepas dari orangtua, harus menjalani isolasi di tempat yang disediakan pemerintah. Saya dan anak-anak terpaksa menjalani isolasi dan perawatan ditempat berbeda tanpa boleh ditunggui ataupun dijenguk oleh pihak keluarga.

Saya dan anak-anak masih beruntung karena masih diberi kesembuhan dan kesempatan untuk berkumpul kembali di rumah. Banyak juga orang lain yang ditakdirkan menderita covid-19 tidak dapat lagi menatap dan memeluk lagi keluarga tercinta untuk terakhir kali sampai jasadnya dimakamkan.

Apakah selesai semua masalah setelah kita pulang ke rumah? Belum. Walaupun telah pulang, kita masih harus menjalani lagi isolasi mandiri antara 7 hingga 14 hari. Stigma negatif orang-orang sekitar akan tetap dilekatkkan kepada diri kita sebagai penyintas covid-19. Akan banyak orang yang merasa takut atau was-was berdekatan dengan kita.

Faktor biaya juga menjadi kesulitan terbesar bagi masyarakat kecil seperti saya. Karena saya terpaksa harus mensupport lebih untuk tubuh dengan makanan, buah-buahan dan vitamin yang akan memaksa kita merogoh kocek lebih dalam.

Yang mungkin juga tidak banyak diketahui masyarakat umum, pekerja seperti saya juga harus menyiapkan dana cukup besar untuk biaya swab pcr. Lho bukannya swab sudah ditanggung oleh pemerintah?

Jangan salah, dari yang saya alami, khususnya di wilayah Tangerang, puskesmas ataupun rumah sakit hanya menanggung biaya swab pcr pada saat pendeteksian awal. Beberapa teman di daerah lain juga mengatakan hal yang sama.

Untuk pasien OTG, setelah isolasi, baik mandiri ataupun di tempat isolasi pemerintah, dan terkadang ditambah 7 hari istirahat lagi di rumah, tidak akan mendapat swab pcr lagi.

Pasien sudah boleh beraktifvtas kembali seperti sediakala. Karena berdasarkan penelitian memang virus ini sudah tidak aktif dan tidak akan bisa menularkan lagi kepada orang lain setelah melewati fase tersebut. Jika ingin memastikan maka kita harus melakukan swab mandiri.

Yang repot adalah pegawai seperti saya. Bergaji rendah yang mungkin untuk makan dan kebutuhan sehari-hari saja selama ini sudah harus mengencangkan ikat pinggang.

Beberapa kali saya harus menerima omelan dokter karena sedikit 'ngeyel' menanyakan masalah swab pcr. Maksud hati sih ingin berupaya agar swab pcr sebagai deteksi akhir dapat dilakukan tanpa keluar biaya.

Mayoritas dokter mempertanyakan kembali tujuan saya melakukan swab pcr. Menurut mereka saya sudah dinyatakan sehat karena segala gejala sudah tidak ada lagi. Hasil cek darah dan rontgen juga sudah membaik.

Jarak waktu dari swab pertama sampai keluar rumah sakit juga sudah lebih dari 20 hari. Belum di tambah dengan harus istirahat 14 hari di rumah lagi sepulang dari rumah sakit.

Para dokter yang saya temui mengatakan swab pcr hanya bisa mendeteksi keberadaan virusnya. Namun test ini masih mungkin akan tetap mendeteksi positif sisa virus mati jika dalam jumlah banyak walaupun sudah tidak menularkan.

Susahnya, pihak kantor tempat saya bekerja tidak berpikir sama dengan para dokter. Mereka tetap mensyaratkan saya harus melakukan swab pcr untuk persyaratan masuk kerja kembali. Situasi pandemi juga membuat perusahaan sedikit pelit mengeluarkan uang untuk membiayai swab tersebut.

Naasnya, seperti pendapat para dokter. Ternyata swab pcr yang saya lakukan masih mendeteksi positif virus covid ini. Padahal untuk biaya swabnya saja saya harus pontang-panting mencari dananya. Total dari pertama di puskesmas, rumah sakit dan test mandiri saya sudah melakukan 4 kali swab pcr.

Saat ini saya masih belum bisa masuk kerja karena terkendala swab pcr. Saya juga tidak tahu harus menjalani berapa kali swab lagi. Dan berapa banyak lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan hasil negatif.

Saya memang harus berprasangka baik kepada Allah mungkin ini adalah cara-Nya untuk memberikan 'vaksin gratis' untuk keluarga saya. Walaupun harus melalui berbagai cobaan dan ujian terlebih dahulu.

Sementara pemerintah padahal saat ini juga sudah menyiapkan vaksin gratis tanpa perlu merasakan terlebih dahulu berbagai gejala dan berbagai kondisi seperti yang saya alami. Beberapa golongan masyatakat bahkan sudah menerima vaksinasi ini.

Cerita saya mungkin tidak seberapa jika dibandingkan pasien lainnya. Karena saat saya pertama kali di rawat di rumah sakit malah sempat satu ruangan di IGD dengan seorang ibu tua yang sedang dalam kondisi mengenaskan. Beberapa penyakit komplikasi menyertai covidnya. Ia terpaksa sampai harus dipasang kateter pada saluran kencingnya.

Vaksin seperti halnya protokol kesehatan adalah salah satu bentuk dari memaksimalkan ikhtiar kita dalam mencegah penularan pandemi. Sakit dan juga kematian memang adalah sebuah takdir.

Tapi pasrah tanpa mencoba berbagai upaya yang mungkin dilakukan untuk melawan virus ini rasanya juga tidak sesuai dengan tuntunan yang di gariskan oleh Tuhan melalui para utusan-Nya.

Vaksin sebenarnya bukan hanya berfungsi sebagai tameng untuk diri kita. Tapi juga untuk melindungi lingkungan dan orang terdekat kita agar tercipta efek herd immunity atau kekebalan kelompok.

Sebagai seorang muslim yang diwajibkan untuk mematuhi dan percaya pada 'umara' dan 'ulama'. Rasanya vaksin ini sudah 'aman' dengan adanya pernyataan resmi dari BPOM selaku perwakilan pemimpin atau pemerintah dan sertifikasi halal dan fatwa dari MUI yang memperkuatnya. Harusnya tidak ada lagi perdebatan.

Terkait jenis vaksin sinovac yang banyak diragukan keampuhannya, semoga nanti pihak pemerintah bisa menggantinya dengan jenis vaksin lain yang lebih baik efikasinya. Sehingga mengurangi penolakan dari masyarakat. Sambil menunggu hal ini vaksinasi harus tetap dijalankan.

Jangan sampai menunggu terinfeksi dulu baru kita sadar betapa pentingnya vaksinasi. Padahal jika semua tahu sengsaranya menjadi pasien covid rasanya mungkin vaksin ini akan menjadi rebutan.

Ingat, kesadaran itu sering kali datang terlambat. Tidak ada yang tahu seberapa kuat tubuh kita menghadapi virus ini. Kurang bijak rasanya mempertaruhkan keselamatan diri dan orang tercinta kita hanya karena kita ragu atau membenci vaksinasi.

Ingat kata Dilan, terinfeksi virus covid dan menjadi penyintas itu berat. Kamu mungkin tak akan kuat. Ehh. Salah ya. Hehee.

Bagaimana, apakah sudah siap untuk divaksin?

Tangerang, Januari 2021
Mahendra Paripurna

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun