Mohon tunggu...
Mahendra Paripurna
Mahendra Paripurna Mohon Tunggu... Administrasi - Berkarya di Swasta

Pekerja Penyuka Tulis Baca, Pecinta Jalan Kaki dan Transportasi Umum yang Mencoba Menatap Langit

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Puisi] Empat Menit

12 Januari 2021   10:39 Diperbarui: 12 Januari 2021   11:01 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi: pexels.com

"Ke mana hari ini kau akan pergi?"
Sebuah tanya yang sebenarnya sudah kutahu jawabnya. Kau akan tersenyum kemudian mengecup bibirku sambil memeluk manja. Lalu berkata. Bahwa kau ingin mengunjungi angkasa dan menyapa mega-mega.

Atau dengan riang. Kau akan mulai bercerita tentang salju yang membuat tubuhmu meriang. Indahnya sunset saat kau mengakhiri siang. Juga panasnya pantai yang membuat kulitmu sedikit belang.

Tapi tidak kali ini. Matamu nanar dalam binar yang menyisakan getar. Memeluk erat dengan hangat yang kuat memekat. Hanya sebuah kalimat yang melekat diingat.
"Sayang, sabar ya. Tunggu aku. Ini hanya perjalanan singkat"

Aku tak tahu apa maksudmu. Apakah kau ragu aku akan setia menunggu. Ataukah itu hanya caramu mengungkapkan sayang dan rindu. Bekal cintamu lebih dari cukup untuk mengisi sudut-sudut kosong kepergianmu di setiap relungku.

Langit adalah sahabat. Seperti halnya awan-awan yang bergumpal lembut di angkasa. Setiap detik dan menit seolah debaran jantung yang kadang tak beraturan. Sedangkan malam dan siang hanyalah masalah tempat dimana arah tujuan.

Entah kenapa kali ini aku sangat ingin mengantarmu. Ke tempat persinggahan dimana burung besi bertuliskan kerajaan besar masa lalu. Disana kau terbiasa terbang bersama asa-asa. Namun kutahu kau pasti takkan izinkanku tuk pergi bersamamu kesana.

*****

Detak jam dinding mendadak berubah memekakkan telinga. Seolah memaksaku tuk bersama menghitung setiap gerak jarumnya. Ada debar jantung yang tak bisa kumengerti. Meloncat-loncat setiap kali jarum jam membuat menit terlewati.

Empat menit sungguh waktu yang menyiksa. Senyum di wajahmu mendadak mengusik benak. Takkan kubiarkan sedikitpun bayangmu beranjak. Dalam pejam kunikmati isak yang entah mengapa kian menyesak.

*****

"Sayang, sabar ya. Tunggu aku. Ini hanya perjalanan singkat"


Kalimat terakhir yang terucap seolah menyimpan pesan tersurat.


Sayang, kenapa tak kau bilang, lautan telah kau jadikan sahabat.


Bisikku dalam desah lidahku yang terasa kian tercekat.

Tangerang, Januari 2021
Mahendra Paripurna

Puisi Duka untuk Para Korban Jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air SJ-182

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun