Nuri menggelengkan kepalanya. "Aku sehat-sehat saja ayah. Tapi aku ingin hanya ingin minta maaf sama Ayah" mendadak Nuri menangis di pangkuan ayahnya.
"Minta maaf untuk apa. Lalu kenapa kamu jadi menangis begini. Coba cerita, jangan buat Ayah bingung"
"Ayah ingat tidak pada kue ikan di kamar Ayah. Waktu itu Ayah pernah kebingungan karena kue itu hilang. Tapi tidak ada satupun yang mengaku mengambilnya. Kue itu sebenarnya aku yang mencuri dan memakannya" tangis Nuri semakin kencang.
"Iya. Iya. Ayah juga sebenarnya tahu akan hal itu. Ayah cuma memang sedikit kesal karena waktu itu kamu tidak jujur dan tidak mau mengakui kesalahan. Tapi Ayah juga sudah memaafkanmu, kok. Yang penting kamu sekarang sadar bahwa mencuri itu tidak baik dan sangat terhormat untuk dapat jujur dan mengakui kesalahan." Ayah mengusap-usap kepala Nuri.
"Tapi aku tidak mau di hukum ataupun dipenjara. Aku tak ingin berpisah dengan Ayah" kata Nuri di tengah isaknya.
"Lho. Siapa yang mau menghukum dan memenjara kamu?" Ayah menatap penuh tanya.
"Aku dengar Benu dan beberapa teman benur lain harus menjalani 'kerja paksa'. Padahal kan mereka masih kecil. Sebelumnya mereka juga sempat mencuri rumput laut di istana. Ini pasti hukuman untuk mereka karena mencuri kan."
"Owh itu rupanya." Ayah tersenyum. "Kerja paksa itu bukan hukuman tapi memang sudah menjadi peraturan di kerajaan samudera. Sebelumnya peraturan ini sempat di hapus. Namun dihidupkan kembali oleh Paduka Maha Menteri yang baru."
"Itu tidak adil Ayah. Mereka kan masih kecil belum layak dipekerjakan" Nuri memotong.
"Ayah tahu Nuri, itu tidak adil. Kita rakyat kecil tak bisa berbuat banyak. Hanya bisa berdoa semoga keluarga kita lolos dari peraturan ini." Ayah berkata sambil memeluk Nuri.
*****