Pak Rus mulai menggunting selembar kertas dari buku tersebut. Guntingnya bergerak memotong kertas tersebut menjadi serpihan kecil-kecil, gerakannya yang semula pelan mulai berubah semakin cepat dan kudengar tarikan nafasnya yang seperti kuda berlari. Tetiba ia menancapkan gunting tersebut ke atas meja.
Aku terkejut. Ada rasa khawatir yang menyeruak. Aku takut ia akan menggunakan gunting itu untuk bunuh diri. Menusuk dada atau menggunting urat nadinya. Seperti berita yang sering kulihat di layar kaca tentang stress yang banyak memicu tindakan bunuh diri.
Dengan mata berkaca-kaca aku beringsut menghampiri.
"Pak Rus,"
Pak Rus menoleh dengan ekspresi terlihat kaget. Raut wajahnya langsung berganti dengan raut ceria yang biasa ia pasang jika berhadapan dengan muridnya. Tangannya bergerak cepat mengumpulkan serpihan kertas yang terserak di atas meja.
"Dinda. Kamu di sini dari tadi ya. Maaf, Bapak tidak melihatmu. Ini tadi iseng menunggu kelas dimulai sambil menggunting kertas," ujarnya coba menjelaskan sembari tangannya mencabut gunting yang masih tertancap di meja.
"Boleh aku bertanya Pak?"
"Silakan Dinda. Kalau bisa Bapak jawab sekarang. Kalau tidak bisa besok Bapak cari jawabannya dulu ya untuk kamu."
Mungkin Pak Rus menyangka aku akan bertanya tentang pelajaran matematika yang aku rasa sulit. Atau mungkin ia berpura-pura untuk mengalihkan perhatianku, karena aku yakin ia pasti sudah langsung sadar bahwa aku telah memperhatikannya sedari tadi.
"Bapak kenapa? Sebenarnya untuk apa buku dan gunting yang selalu Bapak bawa-bawa itu?"
Pak Rus terdiam sejenak. Ia menatap mataku dalam-dalam. Sambil menarik nafas panjang ia menjawab.