Pak Rus, sebut saja begitu. Seperti biasa orang-orang memanggil lelaki itu. Aku sendiri tidak begitu hapal nama lengkapnya. Konon menurut Ibu, ia memiliki nama panjang yang pemiliknya sendiri sampai lupa apa nama belakangnya tersebut. Itu sebabnya ia hanya ingin orang memanggilnya Pak Rus.
Pak Rus adalah guru honorer di sekolahku. Ia mengajar Matematika. Walaupun menurutku ia lebih cocok menjadi guru bahasa Indonesia. Kau tahu mengapa aku berfikir seperti itu. Karena aku tahu ia sangat suka sekali menulis puisi. Aku sering sekali menemukan puisinya di dalam laci meja tempat duduknya. Saking seringnya. Aku sempat berfikir puisi itu memang dibuat untukku. Seperti puisi yang kutemukan pagi ini dalam kondisi yang sudah lecek seperti habis diremas-remas oleh tangannya.
Saat embun pagi menitipkan beningnya pada hijau dedaunan
Kutahu awan mendung kan membawa barisan rintik hujan
Sebagai pertanda turunnya butiran-butiran cinta dari langit
Pada tanah kering yang dahaga karena terik mentari yang panas menggigit
Aku sempat tertawa membacanya. Puisi ngaco. Mana ada hujan. Matahari pagi saja baru mulai muncul dengan cerahnya. Tak ada awan hujan sedikipun di langit. Mengapa pula ia menulis puisi seperti itu.
Tapi kemudian aku menyadari sesuatu. Puisi yang dibuatnya ternyata adalah sebuah ramalan tentang peristiwa yang akan datang. Tak berapa lama setelah aku membacanya. Langit mendadak tertutup awan mendung. Kemudian hujan mulai turun dan menderas. Bulu kuduk sempat merinding jika mengingat hal ini.
*****
Pak Rus termasuk guru yang disayang oleh murid-muridnya. Pelajaran matematika sesulit apapun dapat ia terjemahkan dalam rumus dan bahasa yang mudah dipahami. Ia selalu terlihat ceria saat mengajar walaupun aku tahu ada sesuatu yang ia pendam di lubuk hatinya.
Aku pernah melihat ia duduk termenung seorang diri saat ruangan kelas sedang kosong. Raut wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Sepertinya ada beban berat yang menggelayuti pikirannya.
Ia mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. Aku hafal sekali itu adalah lembar kertas yang sama dengan lembar puisi yang biasa aku temukan di balik laci karena terlihat ada gambar hati berwarna merah di sudut kiri bawahnya. Dan dari dalam lembaran buku tersebut ia mengeluarkan sebuah gunting yang kulihat kilatannya sebagai penanda tajamnya benda tersebut. Gunting itu yang biasanya ia gunakan untuk memotong lembaran kertas untuk menuliskan bait puisi.