Mohon tunggu...
Mahendra Paripurna
Mahendra Paripurna Mohon Tunggu... Administrasi - Berkarya di Swasta

Pekerja Penyuka Tulis Baca, Pecinta Jalan Kaki dan Transportasi Umum yang Mencoba Menatap Langit

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Debat Capres, Ibarat Duel MMA yang Tanpa Kuncian dan Pukulan, Salahkah Berharap Lebih ?

22 Januari 2019   11:11 Diperbarui: 23 Januari 2019   19:45 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Debat Capres yang berlangsung beberapa hari lalu masih terus menyisakan banyak komentar terkait banyak hal. Mulai dari performa masing-masing capres yang dinilai kurang sempurna. Seperti Paslon No.01 Jokowi-Ma'ruf yang dinilai terlalu "textbook" melihat contekan setiap kali menjawab pertanyaan yang diberikan dan banyak yang beranggapan jawabannya rasanya seperti kurang cocok dengan pertanyaan yang diberikan. Ataupun Paslon No.02 Prabowo-Sandy yang terlalu pede tidak membawa catatan saat menjawab pertanyaan tetapi kurang mendalam jawabannya akibat terlalu panjang menjawab dan kekurang siapan akan data dari jawaban yang diberikan.

Saya sebenarnya mengharapkan debat ini akan berlangsung menarik. Layaknya duel MMA (Mixed Martial Art) dimana masing-masing mengeluarkan jurus mematikan untuk menyerang lawan. Mulai dari kuncian hingga pukulan yang diiringi "naluri membunuh" dari masing-masing calon. Tapi yang terlihat kemarin jadi hanya semacam lomba cerdas cermat berisi pertanyaan yang harus dijawab dengan memenuhi durasi waktu yang telah ditentukan oleh moderator. Jauh sekali dari kesan debat. Dimana ada saling serang pendapat dan saling uji gagasan, ide dan data yang diajukan oleh capres lawannya.

Debat Capres dan Cawapres yang berlangsung 17 Januari 2019 tersebut sebenarnya memiliki muatan tema yang cukup berbobot dan seharusnya bisa menghidupkan suasana. Terdiri dari 4 tema yaitu Hukum, HAM, Korupsi dan Terorisme. Tapi sepertinya terlalu banyaknya aturan debat yang diberi batasan waktu terlalu singkat membuat debat menjadi terlalu formil dan kurang dinamis. Padahal para panelis yang menyiapkan materi pertanyaan debat memiliki kapasitas keilmuan yang cukup lumayan. Seperti Guru Besar Hukum UI, Hikmahanto Juwana, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufik Damanik, Mantan Ketua MA Bagir Manan, Ketua KPK Agus Rahardjo dan Ahli Tatanegara Bivitri Susanti dan Margarito Kamis.

Seandainya saja acara tersebut tidak dibatasi oleh durasi waktu yang terlalu pendek. Rasanya debat akan berlangsung cukup hidup. Itupun andai kedua pasangan Capres tidak terlalu "sok cool" dalam menjawab pertanyaan baik dari moderator maupun lawan debatnya. Entah memang dilarang oleh Tim Sukses yang mendampingi atau memang peraturan dari KPU selaku penyelenggara yang mengharuskan demikian.

Debat yang terjadi di medsos antara para pendukung Capres rasanya terlihat lebih seru dan berbobot walaupun memang mungkin banyak juga yang komentarnya kurang bermutu dan lebih berkutat pada mencela figur dan menggunakan kata-kata kasar. Rasanya akan lebih greget jika perdebatan di medsos di tarik ke ajang resmi Debat Capres.

Seperti permasalahan wilayah Jateng lebih besar dari Malaysia yang diungkap oleh Capres Prabowo. Andai saja Jokowi saat itu kritis mengomentari dan meminta klarifikasi. Dan sebaliknya Prabowo juga sigap menjelaskan apa yang dimaksud olehnya terkait kata "lebih besar" misalnya seperti yang diungkap beberapa netizen dan kompasianer Erwin Alwazir bahwa yang dimaksud besar itu bukanlah luasan wilayah tapi jumlah penduduk dan jumlah wilayah administratifnya. Tentu akan menjadi tontonan yang menarik yang memperlihatkan tingkat berfikir kritis dan pengetahuan Capres yang tidak kalah dengan para pendukungnya di Medsos.

Berbagai kebijakan yang telah dan akan dilakukan haruslah dikritisi kedua Capres. Seperti misalnya permasalahan korupsi yang sempat mengemuka. Terkait skandal PT.DGI yang ditengarai melibatkan Sandi. Ataupun korupsi Reklamasi Teluk Jakarta dan Proyek Meikarta yang ramai dibicarakan di Medsos karena seperti di dukung dan melibatkan jajaran pemerintahan Jokowi. Akan mencerahkan apabila dijadikan topik untuk saling menyerang dan mengklarifikasi. Agar ada sesuatu yang bernilai dan memberikan pengetahuan dibanding hanya berkisar pada omong kosong mengenai kesempurnaan pemberantasan korupsi yang masih di awang-awang.

Issue-issue sensitif tentang stigmasisasi pemerintahan Jokowi yang dianggap memusuhi umat Islam ataupun keterlibatan Prabowo pada kasus-kasus HAM haruslah dibahas tuntas. Dengan kedua Capres yang saling mengkritisi dan mendebat. Sehingga memuaskan "naluri perang" yang selama ini berpusar di dunia maya. Tentunya dengan tetap menjaga kesantunan dalam berucap dan memberi kesempatan adil berbicara dari kedua Capres.

Yang patut diingat semua pihak, tujuan dari Debat Capres ini adalah memberikan wawasan kepada calon pemilih masing-masing figur. Bukan saja terkait misi dan visi serta kebijakan yang akan diambil untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat tapi juga terkait kredibilitas para Capres tentang berbagai issue-issue sensitif dan negatif yang bakal mempengaruhi pilihan dari rakyat. Disinilah perlunya debat terbuka yang memaparkan semuanya.

KPU selaku penyelenggara harus tetap netral dan berpihak pada kepentingan rakyat banyak selaku pemilih. Jangan sampai terkesan melindungi salah satu calon apalagi dengan memberikan bocoran materi pertanyaan sebelumnya. Menurut saya masing-masing pasangan Capres memiliki kemampuan debat yang baik. Semua pihak jangan terlalu mendikte jalannya debat dengan jawaban-jawaban yang harus sesuai dengan "contekan" yang telah dibuat. Ibarat Duel MMA biarkan mereka melakukan tarung bebas, saling menyerang dan bertahan dengan argumen masing-masing.

Salah satu format debat yang mungkin bisa ditiru adalah seperti tayangan ILC di TVOne dimana tiap-tiap peserta diberi keleluasaan waktu untuk menjawab dan menginterupsi tentunya dengan tetap memberikan waktu bicara yang adil dan siap mengintervensi acara debat jika sudah mulai ricuh dan terjebak pada "Debat Kusir".

Karena menonton Debat Capres kemarin jika diibaratkan itu seperti melihat duel MMA tapi tanpa ada yang saling kunci dan saling pukul lalu apa yang mau dilihat. Andaipun ada serangan itupun diatur ke arah mana harus memukul dan ke arah mana harus menghindar dan menangkis. Kapan waktu menyerang dan kapan waktu bertahan. Jadi seperti menonton film Warkop DKI ketika adegan perkelahian yang dilakukan secara "slow motion" bukan lagi tarung bebas, sangat jauh dari kesan seru dan menambah wawasan masyarakat.

Banyak masyarakat yang mengatakan lebih seru menonton debat di Indonesia Lawyer Club (ILC) yang dipandu Karni Ilyas dibanding debat kemarin. Ada pengetahuan dan pencerahan setelah menontonnya.

Salahkah saya selaku orang awam berharap lebih dari Debat Capres agar tidak salah dalam memilih ? Karena berita hoax yang beredar secara masif dan perdebatan panjang antar para pendukung di medsos hanya bisa di redam dengan klarifikasi melalui ajang debat resmi seperti Debat Capres ini yang di jawab langsung oleh masing-masing pasangan Capres.

Semoga saja debat-debat berikutnya akan lebih baik dan menjawab semua kritikan dari khalayak umum yang menyaksikan.

Tangerang, Januari 2019
Mahendra Paripurna

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun