Mohon tunggu...
Mahendra Paripurna
Mahendra Paripurna Mohon Tunggu... Administrasi - Berkarya di Swasta

Pekerja Penyuka Tulis Baca, Pecinta Jalan Kaki dan Transportasi Umum yang Mencoba Menatap Langit

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ramainya Slogan "Lawan Orde Baru", Efektifkah untuk Jokowi Mendulang Suara

21 Desember 2018   15:32 Diperbarui: 21 Desember 2018   15:52 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doc.pribadi: Mahendra Paripurna

Beberapa hari ini saya melihat sebuah baliho besar dari salah satu simpatisan pendukung Jokowi-Maruf Amin yaitu Rumah Gerakan 98 tidak jauh dari pintu masuk Kawasan Industri Pulogadung. Organisasi yang kabarnya diusung oleh aktifis mahasiswa tahun 1998 ini mengusung tema Deklarasi Lawan Orde Baru.

Baliho yang dibuat oleh organisasi yang diketui oleh Bernard AM Haloho berisi informasi acara deklarasi yang berlangsung tanggal 16 Desember kemarin. Memang jika melihat dari sisi waktu sebenarnya baliho ini sudah kadaluwarsa karena sudah lewat masa tapi entah kenapa masih saja terpajang disana.

Saya tidak ingin menyoroti masalah waktu tayang yang melewati batas ataupun membahas mengenai isi dari acara deklarasi tersebut karena saya memang tidak hadir ataupun berusaha mencari informasi tentang acara tersebut. Ataupun tidak ingin juga terlibat konflik terkait bantahan dari kubu paslon Prabowo-Sandi yang menganggap figur sang ketua Bernard bukan termasuk aktifis mahasiswa 98.

Saya hanya ingin mengulas mengenai semakin mengemukanya kembali penggunaan istilah Orde Baru dalam kampanye politik yang dilakukan oleh para pendukung Jokowi.

Hal ini bermula dari tulisan Politikus Partai Berkarya Siti Hediati Haryadi atau Titiek Suharto putri dari Presiden kedua RI di twitter pribadinya menyinggung Orde Baru.

"Sudah cukup... Sudah saatnya Indonesia kembali seperti waktu era kepemimpinan Bapak Soeharto yang sukses dengan swasembada pangan, mendapatkan penghargaan internasional dan dikenal dunia," 

demikian kicauan Titiek lewat akun media sosial Twitter @TitiekSoeharto yang diunggah pada Rabu, 14 November 2018. Seperti dikutip dari situs berita cnnindonesia.com.

Tulisan tersebut kemudian memancing berbagai tanggapan di berbagai media sosial yang seolah-olah berusaha mengarahkan perhatian publik kepada salah satu pasangan calon (paslon). Terkait pernyataan dukungan sebelumnya dari Partai Berkarya kepada Prabowo-Sandi.

Jika melihat cuitan Titiek sendiri sebenarnya dia sendiri tidak berani menggunakan istilah Orde Baru. Fokus tulisannya kepada 3 hal yaitu suksesnya Indonesia dalam berswasembada pangan, penghargaan internasional dan dikenal dunia di era kepemimpinan Soeharto. Sepertinya Titiek agak ragu atau justru sadar penggunaan istilah Orde Baru akan memberikan dua efek yang saling bertolak belakang untuknya.

Saya tidak sedang memihak salah satu paslon yang sedang bertarung meraih massa ataupun pro dengan Orde Baru. Tapi saya melihat komunikasi politik dari pendukung Jokowi yang sering kali blunder dan kontraproduktif.

Mulai dari PSI yang sebelumnya seperti berusaha membenturkan Jokowi dengan umat Islam dengan pernyataannya yang kontra dengan perda syariah dan poligami. Sementara Jokowi sendiri sedang berusaha meyakinkan umat islam agar dapat memberikan suara kepadanya dengan dipilihnya Ma'ruf Amin sebagai Cawapresnya.

Maraknya kembali kata Orde Baru digunakan untuk kampanye politik layaknya jebakan-batman bagi yang pro Jokowi. Pendukung Jokowi seperti kebakaran jenggot dan terlalu reaktif terhadap pancingan cuitan Titiek. Sehingga ada kesan ketakutan akan pesona Soeharto menggembosi suara dari PDIP. Sehingga ramai-ramai mengulas hal ini.

Istilah Orde Baru sendiri merupakan ciptaan dari Soeharto yang secara psikologi digunakan untuk mendegradasi kharisma Soekarno dan pemerintahannya. Istilah ini bersamaan juga dengan diciptakannya istilah Orde Lama untuk merujuk pada pemerintahan Soekarno.

Mengkampanyekan tagar "Lawan Orde Baru", yang seolah-olah monster yang siap bangkit, alih-alih untuk mengalihkan suara massa agar tidak memilih Prabowo. Justru bisa memunculkan masalah baru.

Sisi psikologis dari Orde Baru yang terkait dengan Orde Lama bisa saja memunculkan kembali bayangan akan sisi positif dan negatif dari kedua orde besutan Soeharto tersebut.

Munculnya kampanye "Lawan Orde Baru" yang merujuk pada ajakan untuk tidak mendukung Prabowo. Memunculkan pikiran di benak publik tentang Orde Lama dengan segala sisi negatifnya. Bisa saja ini dimaanfaatkan oleh kubu pro Prabowo untuk memunculkan kampanye tandingan "Lawan Orde Lama" yang merujuk pada ajakan menolak Jokowi yang notabene diusung PDIP sebagai penerus partai besutan Soekarno (Orde Lama).

Jika ini terjadi maka akan terulang lagi pertempuran antara pendukung kedua orde tersebut yang terfokus pada dua figur Soekarno dan Soeharto.

Sejarah mencatat selain Orde Baru, Orde Lama juga mencatatkan sejarah kelam bangsa ini terkait keganasan PKI yang memakan banyak korban walaupun ini masih jadi perdebatan umum mengenai Aktor Intelektual di balik semuanya. Yang akan memunculkan kembali ketakutan dan trauma dari masyarakat dan umat islam pada umumnya yang banyak menjadi korban saat itu. Dan anggapan bahwa kedua orde tersebut juga masing-masing pernah mengusung presiden yang dianggap otoriter terhadap lawan-lawan politiknya karena lama keduanya memimpin negara ini.

Kampanye "Lawan Orde Baru" yang digaungkan juga secara tidak langsung, sama seperti halnya PSI, bisa mengusik soliditas partai pendukung Jokowi, dalam hal ini Partai Golkar yang merupakan partai bentukan Soeharto. 

Bagaimanapun juga kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun di Golkar sedikit banyak membawa aura keberpihakan dari pendukung partai tersebut terhadap dirinya. Sehingga bisa saja di tingkat pengurus partai ataupun akar rumput membelot secara diam-diam dari Koalisi saat pemilu nanti.

Jika memang ingin menunjukkan bahwa koalisi Jokowi solid dalam mengelola suara dari Partai Nasionalis dan Islam tentunya harus mulai memikirkan lagi setiap komunikasi politik dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah agar tidak lagi bermanuver negatif. Yang berimbas pada penggembosan suara pendukungnya.

Mungkin ada baiknya kedua paslon baik Jokowi maupun Prabowo untuk meninggalkan cara-cara lama kampanye politik yang selalu menyerang lawan politiknya dengan issue-issue di masa lalu. Hal ini bisa membangkitkan luka lama bangsa ini. Sehingga sulit untuk bergerak untuk kemajuan bangsa.

Fokuslah pada program masing-masing yang pro rakyat dan demi kemajuan bangsa. Dan menghindari issue-issue yang menimbulkan konflik di masyarakat dan lingkungan agama khususnya diantara pemeluk agama Islam yang mayoritas.

Biarkan rakyat agar bisa melihat lebih jernih kedua paslon ini. Sehingga dapat memilih paslon memiliki program kebijakan masa depan yang pro dengan kepentingan mereka.

Yang harus juga diingat bahwa politik itu cair dan banyak menyimpan kejutan di dalamnya. Tidak ada yang pasti dalam politik. 

Bisa saja hasil survey yang selama ini mengunggulkan Jokowi berbalik menjadi Prabowo yang berada di atas angin. Seiring dengan beberapa survey yang mengindikasikan adanya kenaikan elektabilitas Prabowo.

Semoga tercipta Pemilu 2019 yang adil dan damai.

Sumber :
cnnindonesia.com
Tangerang, Desember 2018
Mahendra Paripurna

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun