Dingin ini membeku. Menjalari lidahku yang kelu. Tak mampu mengucap bait kata yang kurancang sepanjang malam untukmu. Hanya mampu berdiri disini menatap kaku.
Dingin ini mulai menyegarkan. Meruar wangi aroma melati. Kala pagi kau tebar seulas senyuman. Penanda syair t'lah membuka hati.
Dingin ini menghentikan waktu. Buat hari seakan tak lagi berputar lari. Semua sama bercahaya dan berpelangi. Hanya ada dua sejoli engkau dan aku.
Dingin ini tetiba menusuk telapak kaki. Menembus tulang hingga tubuh tak lagi sanggup berdiri. Melihat engkau berdua disana memadu hati. Campakkan rasa yang ku genggam tuk cinta yang terbagi.
Dingin ini membuatku mati. Mencipta tembang yang mengiris jiwa. Hempaskan hingga jauh ke perut bumi. Yang tak ada lagi udara cinta disana.
Dan dingin ini tlah hilangkan hati. Yang telah tertusuk kecewa. Dan sakiti jiwa. Seperti belati yang kutancapkan di dada si lelaki.
Yang menjerit parau.
Bagai auman serigala terluka. Oleh tanganku yang memegang senjata berkilau. Bersimbah tetesan darah yang buat kau. Tergugu dan rapuh jiwa.
Seiring pekatnya dingin dan wangi melati yang kini beraroma kematian.
Tangerang, November 2018
Mahendra Paripurna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H