Aku bercerita tentang derita. Pada manusia yang kusangka penguasa. Hingga dia beri limpahan harta. Yang nyaris buat aku lupa.
Lupa akan kemana harus melangkah. Saat kaki-kaki ini memaksa berjalan. Ke tempat yang tak lagi ku tahu arah. Hanya ada tawa dan jutaan kesenangan.
Insan-insan yang tak ku kenal. Dengan topeng yang tersungging senyuman. Tak pernah tersirat kan ada sesal. Saat dunia seolah dalam genggaman.
Hingga dunia yang kusangka surga. Tetiba melenyap. Seolah tangan yang tanpa rupa. Menarikku jatuh hingga terjerembab.
Semua sirna. Kala senyum semu menampakkan aslinya. Kala yang kusangka segalanya. Ternyata hanya racun yang setiap hari merusak hati dan jiwa.
Racun itu. T'lah rusak ragaku. Hanguskan apa yang kupunya. Hilangkan manusia-manusia yang ku sangka saudara.
Tersisa segelintir yang memberi cinta. Dari hati-hati suci yang dulu ku caci. Sementara di atas langit singgasana. Ku lihat cahaya yang tersenyum memberi kasih.
Masih bolehkah ada sesal.Â
Dari hamba yang kini merindu.Â
Ampuni aku wahai Sang Kekal.Â
Hanya Engkaulah tempat kembaliku.
Tangerang, November 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H