“Indonesia kaya akan minyak dan gas”, sebuah kalimat yang sudah menjadi mindset banyak orang. Padahal pada kenyataannya tidaklah demikian. Untuk cadangan gas alam sendiri, Indonesia
Gambar: Negara-negara yang memiliki cadangan gas alam terbukti terbesar (BP Statistical Review)
menempati posisi ke-14 dalam hal cadangan gas alam terbukti (BP Statical Review). Dari fakta tersebut, mungkin kita berpikir bahwa Indonesia termasuk kaya akan gas. Namun, menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menunjukkan bahwa terdapat defisit antar Supply dan Demand gas alam di Indonesia, yang berarti Supply gas alam di Indonesia lebih kecil daripada kebutuhan di Indonesia akan gas alam itu sendiri (Kementerian ESDM, 2012). Hingga terus kedepannya, konsumsi gas alam di Indonesia akan semakin meningkat sehingga mengakibatkan demand akan gas alam semakin meningkat. Bila kita bandingkan dengan negara Malaysia, produksi gas alamnya jauh melampaui konsumsi gas alamnya. Pada tahun 2012, Malaysia memproduksi sekitar 2100 ribu barrel per hari dan hanya mengkonsumsi sekitar 1100 ribu barrel per hari.
Gambar: Grafik produksi dan konsumsi gas alam di Malaysia
Dengan fakta yang telah dipaparkan di atas dan dengan menyadari bahwa gas alam merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui dan akan habis nantinya bila diproduksi secara terus menerus, maka perlu kita diskusikan ulang orientasi pemanfaatan gas alam ini. Selama ini, di Indonesia, migas dianggap sebagai komoditi. Migas dianggap sebagai sesesuatu yang hanya diorientasikan sebagai bahan dagang. Sehingga hal ini akan berdampak kepada mengeksploitasi sebanyak mungkin tanpa memperhitungkan efek positif yang dapat ditimbulkan dari eksploitasi tersebut. Seharusnya, dalam posisi Indoesia saat ini, perlu diubah orientasinya dari migas sebagai komoditi, menjadi migas sebagai pendorong penggerak ekonomi suatu daerah pada khususnya dan nasional pada umumnya.
Orientasi memanfaatkan migas sebagai pendorong penggerak ekonomi sangat penting dalam membangun ekonomi bangsa ini. Dengan orientasi ini, eksploitasi migas akan mengakibatkan banyak pihak yang akan merasakan efek positifnya. Dengan adanya ekspoitasi migas, akan berdampak pada tergeraknya sektor-sektor ekonomi lain, seperti industri
petrokimia, industri pupuk, dan sebagainya. Dengan berkembangnya di sektor tersebut, tentu akan mengakibatkan sektor-sektor pendukung, seperti transportasi dan permukiman, akan tumbuh dengan pesat. Efek ini kita kenal sebagai The Multiplier Effect. Oleh karena itu, Skala prioritas pertama penggunaan gas alam adalah sebagai industri, lalu pembangkit listrik, dan yang terakhir baru ekspor. Jangan sampai gas dijadikan sebagai komoditi dan ekspor gas sebagai skala prioritas pertama.
Saat ini, The Multiplier Effect dari migas telah terjadi di berbagai belahan dunia, salah satunya di Darwin, Australia. Di laut sekitar Darwin, yakni Laut Timor, terdapat lapangan minyak dan gas yang berproduksi. Kemudian, minyak dan gas ini dikirim melalui pipa bawah laut ke Darwin. Lalu, kemudian diolah disana. Dengan demikian, banyak lapangan pekerjaan yang timbul akibat pengolahan migas ini, yakni petrokimia dan industri lainnya. Hal ini berakibat meningkatnya ekonomi Kota Darwin dan sekitarnya secara pesat.