Yesus dari sisi historis terus bermunculan. Banyak pihak mencoba memahami Yesus sebagai subjek historis yang dikaji menggunakan metode ilmiah, seolah-olah pendekatan ini dapat memberikan gambaran yang lebih "otentik" mengenai dirinya.
Sejak abad ke-18 hingga zaman modern ini, upaya untuk melihatBagaimana Kekristenan menanggapi pendekatan ini? Apakah gagasan tentang Yesus historis menguntungkan atau justru merugikan iman Kristen itu sendiri? Sebagian orang berpendapat bahwa ini menguntungkan karena dapat memperkuat posisi Kekristenan sebagai "kebenaran universal" dengan membuktikan keberadaan Yesus secara empiris. Namun, menurut saya, konsep "Yesus historis" justru merupakan ide yang keliru. Mengapa demikian?
Untuk menjawabnya, mari kita gunakan prinsip dasar logika mengenai identitas. Dalam konsep matematika, sebuah objek disebut A jika dan hanya jika memenuhi semua atribut identitasnya, misalnya B, C, dan D. Jika sebuah objek, misalnya X, hanya memiliki sebagian atribut seperti B dan C, maka secara matematis, X tidak dapat dianggap sama dengan A; paling jauh, kita bisa menyatakan bahwa X mendekati A (), tetapi bukanlah A sepenuhnya. Hal yang sama berlaku untuk Yesus historis. Jika Yesus hanya dilihat dari sisi atribut historis-Nya ({B, C}) tanpa atribut keimanan-Nya ({D}), maka tokoh itu tidak bisa disebut sebagai Yesus yang sejati dalam iman Kristen. Ia mungkin menyerupai Yesus, tetapi tidak cukup untuk benar-benar disebut Yesus Kristus. Bahkan, beberapa pendukung gagasan ini mengklaim bahwa Yesus historis lebih "benar" karena dapat dibuktikan secara ilmiah. Klaim ini, bagi saya, tidak dapat diterima.
Yesus yang sejati adalah Yesus yang Kristus, yang diimani sebagai Juruselamat dan Tuhan. Tidak masuk akal jika Yesus dipisahkan dari atribut-atribut keimanan yang melekat padanya. Pemahaman kita tentang Yesus berasal dari periwayatan para muridnya yang menulis dan mengabarkan tentang Yesus melalui Injil. Realitanya, seperti yang ditegaskan dalam Yohanes 20:31, Injil ditulis "supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah."
Lalu bagaimana dengan catatan-catatan non-Kristen mengenai Yesus, seperti yang ditulis oleh Flavius, Tacitus, Mara, Lucian, dan Suetonius? Sayangnya, catatan-catatan tersebut bersifat parsial dan hanya menggambarkan aspek tertentu dari kehidupan Yesus, seperti penyaliban-Nya. Catatan ini tidak mencakup seluruh kisah yang terdapat dalam Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Memang, keempat Injil juga tidak memberikan gambaran lengkap tentang kehidupan Yesus — misalnya, ada jeda antara usia 13 hingga 30 tahun — tetapi sejak awal, tujuan Injil bukanlah untuk menyampaikan biografi Yesus secara historis, melainkan untuk mengabarkan bahwa Tuhan telah lahir di Betlehem, melakukan mukjizat di Yudea, dan mati di kayu salib untuk menebus dosa umat manusia.
Memang betul bahwa ada catatan-catatan historis mengenai Yesus yang terus ditemukan hingga kini. Namun, catatan-catatan tersebut hanya cukup membuktikan "keberadaan Yesus" akan tetapi tidak bisa dijadikan patokan "memahami Yesus". Iman Kristen memang tidak berdiri di atas konsepsi "natural" tetapi merupakan sebuah konsep agung yang "super (di atasnya) natural".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H