Terlihatlah seorang yang menghabiskan waktu mereka untuk membuka sosial media seperti instagram dan facebook. Dia melihat betapa hebatnya orang-orang yang ada di feeds mereka.
Ada yang membeli mobil paling mewah dengan harga milyaran rupiah.
Ada yang memiliki rumah super besar padahal usianya belum sampai 30 tahun.
Ada yang sudah jalan-jalan keliling dunia meski usianya masih remaja.
Lalu orang tersebut melihat dirinya sendiri, dan menanggap dirinya masih belum melakukan apapun dalam hidupnya, hingga akhirnya menjadi depresi dan meratapi nasibnya. Padahal kita sendiri belum mengetahui kebenaran dibalik semua postingan di sosial media tersebut, terlebih lagi kita tidak mengetahui bagaimana usaha orang-orang tersebut agar bisa mencapai hal tersebut.
Cara terbaik bagi orang seperti itu adalah untuk tidak terlalu sering membuka sosialmedia, bukalah seperlunya saja.
Carilah ketenangan dalam diri, jangan membandingkan diri terburukmu dengan diri terbaik dari orang lain.
Berikut adalah riset yang membahas soal hal tersebut:
Apakah media sosial menyebabkan depresi?
Sebuah studi baru menyimpulkan bahwa sebenarnya ada hubungan sebab akibat antara penggunaan media sosial dan efek negatif pada kesejahteraan hidup, terutama depresi dan kesepian. Studi ini dipublikasikan dalam Journal of Social and Clinical Psychology.
"Apa yang kami temukan secara keseluruhan adalah bahwa jika Anda menggunakan lebih sedikit media sosial, Anda sebenarnya kurang depresi dan kurang kesepian, yang berarti bahwa penurunan penggunaan media sosial adalah apa yang menyebabkan perubahan kualitatif dalam kesejahteraan Anda," kata Jordyn Young, seorang rekan penulis makalah dan senior di University of Pennsylvania.
"Sebelum ini, yang bisa kami katakan adalah bahwa ada hubungan antara menggunakan media sosial dan memiliki hasil yang buruk dengan kesejahteraan hidup," katanya.
Para peneliti mengatakan ini adalah pertama kalinya hubungan sebab akibat pernah dibuat dalam penelitian ilmiah.
Studi ini melibatkan 143 siswa dari University of Pennsylvania. Mereka secara acak ditugaskan ke salah satu dari dua kelompok: satu yang akan melanjutkan kebiasaan media sosial mereka seperti biasa atau satu yang secara signifikan akan membatasi akses ke media sosial.
Selama tiga minggu, kelompok eksperimen menggunakan media sosial mereka dikurangi menjadi 30 menit per hari - 10 menit pada tiga platform yang berbeda (Facebook, Instagram, dan Snapchat).
Untuk menjaga kondisi eksperimental ini, para peneliti melihat data penggunaan ponsel, yang mendokumentasikan berapa banyak waktu yang dihabiskan menggunakan setiap aplikasi per hari. Semua peserta studi harus menggunakan iPhone.
Hasilnya jelas: Kelompok yang menggunakan lebih sedikit media sosial, meskipun tidak sepenuhnya dihilangkan, memiliki hasil kesehatan mental yang lebih baik.
Bacaan awal untuk peserta diambil pada awal uji coba di beberapa bidang kesejahteraan: dukungan sosial, ketakutan akan kehilangan, kesepian, kecemasan, depresi, harga diri, otonomi, dan penerimaan diri.
Pada akhir uji coba, mereka yang berada dalam kelompok eksperimen mengalami penurunan kesepian dan gejala depresi, dengan perubahan terbesar terjadi pada mereka yang melaporkan tingkat depresi yang lebih besar.
"Tidak peduli dari mana mereka memulai, jika mereka diberitahu untuk membatasi media sosial mereka, mereka memiliki lebih sedikit depresi, tidak peduli apa level awal mereka," kata Young.
Sementara itu, kedua kelompok melihat penurunan tingkat kecemasan dan rasa takut ketinggalan, yang oleh para peneliti anggap berpotensi berasal dari pengguna hanya menjadi lebih sadar akan penggunaan media sosial mereka dengan mengambil bagian dalam uji coba.
Kesimpulan
Penggunaan media sosial dapat membahayakan kesehatan mental Anda, terutama ketika itu digunakan lebih sering.
Menetapkan batas penggunaan sosial media dapat membantu meminimalkan efek ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H