Perjalanan waktu memang terasa begitu panjang. Aku menekuni di satu titik jenuh yang kuangankan akan membawa ku terbang tinggi menuju awan seperti yang sudah-sudah.
Lencana merah yang pernah disematkan kepada orang-orang terdahulu membuatku ingin menjadi bagian dari mereka juga. Tatkala malam yang sepi itu menghampiriku tanpa salam aku terkecoh dan berusaha untuk kembali tapi apa daya kakiku ternyata tak begitu kuat untuk bisa menyusuri jejalanan yang terjal ini.
Kemenangan yang sudah di depan mata bahkan tak bisa kugapai sambil bernapas. Kurang sedikit lagi tapi gagal. Hanya tinggal kenangan manis, diriku dan dirinya tidak pernah bisa dipertemukan.
Dipisahkan oleh semesta memang jauh lebih menyakitkan daripada tanggal karena ketidakmauan. Keringat ku bahkan sudah tidak ada, darah merah itu sudah berganti menjadi putih.
Lalu kemanakah diri ini bisa berserah selanjutnya. Merah putih itu akan selalu berkibar di pekarangan rumahku. Menghiasi bangunan yang telah lama dibiarkan kosong seperti hatiku. Gemuruh hati ini terdengar begitu keras, aku ingin merasakan kebebasan yang terlihat begitu manis semanis madu.
Lambaian tangan yang biasanya selalu menemani kepergianku bahkan sekarang sudah tidak pernah kutemukan lagi. Duhai kasih dimanapun ragamu terkubur jangan lupakan jika jiwamu selalu ada didada kiri pria lapuk ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H