Berawal dari perbincangan warung kopi hingga menjadi pembicaraan akademisi, fenomena kotak kosong melarutkan perdebatan yang berujung tanpa penyelesaian. Iya, tanpa penyelesaian. Bagaimana tidak, fenomena ini baru terjadi pada momen Pilkada tahun ini.Â
Pilkada serentak yang telah berlangsung, meninggalkan banyak pembahasan terutama bagi kami yang masih tergolong awam dengan aturan-aturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini. Tidak hanya itu, Perbincangannyapun masih menjadi headline di beberapa media.Â
Fokusnya pun masih berkisar hasil yang di peroleh melalu quickcount beberapa lembaga survei, atau bahkan pemberitaannya menyangkut saling klaim pasangan tentang kemenangan mereka masing-masing. Tetapi diluar hiruk-pikuk euforia tersebut, terdapat satu kejadian yang dianggap menarik karena baru terjadi pada moment Pilkada tahun ini, yakni kemenangan kotak kosong di Pilwalkot Makasar.
Setelah browsing ke sana ke sini, pada akhirnya menemukan sedikit pencerahan. Kasus ini sebenarnya dapat dimungkinkan terjadi kapanpun dan dimanapun. UU No.10/2016 tentang Pilkada mengenai pengajuan pasangan calon dari partai atau gabungan partai memungkinkan adanya pasangan calon tunggal, membuka ruang terjadinya fenomena ini.Â
Jika hal demikian terjadi, proses pemilihan tetap dilakukan dengan mekanisme pasangan calon tunggal akan dilawankan dengan kotak yang tidak disertai foto pasangan calon lain (kotak kosong). Pada pilkada serentak 2018, terdapat 13 calon tunggal. Dari penghitungan sementara versi quickcount, kotak kosong mengalahkan pasangan calon Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi.
Perdebatan tentang fenomena ini tidak hanya terjadi di warung kopi. Banyak asumsi, teori bahkan saling tuduh untuk merasionalisasikan kemenangan kotak kosong di Pilwalkot Makasar.Â
Meskipun untuk menarik kesimpulan tentang kemenangan kotak kosong masih terlalu dini, karena keputusan tersebut harus menunggu rekapitulasi C1 di KPU. Akan tetapi fenomena ini sebenarnya menjadi bukti nyata dan warning bagi para calon pemilu selanjutnya bahwa masyarakat Indonesia sudah "melek" politik. Pengetahuan masyarakat menenai politik sudah dapat terwujud melali perilaku politik yang ditampakkan.
Masyarakat sudah mulai membuat keputusan dan melaksanakan keputusan tersebut, dari respon yang mereka peroleh dari keadaan dan dinamika yang dialami. Masyarakat mulai menyadari bahwa mereka adalah tujuan utama kontestan politik untuk dipengaruhi dan dijadikan alat untuk mencapai kekuasaan yang diinginkan kontestan, sehingga masyarakat kemudian hanya menjadi objek politik. Padahal jika mengacu pada sistem demokrasi yang dianut oleh negara kita, masyarakat merupakan poros yang menggerakkan sistem ini, kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Jika posisi masyarakat hanya diletakkan menjadi objek, maka akan terjadi hubungan menindak. Artinya Politisi mempertahankan kekuasaannya dengan cara menjadikan masyarakat menjadi objeknya. Hal ini yang dimaksud oleh Satre sebagai being for other.
Mencoba menjadikan pembahasan ini serius, saya memunculkan spekulasi yang lebih dramatis. Kemenangan ini adalah bentuk dari pemberontakan! Kenapa kesimpulan yang dihasilkan terkesan ekstrem?. Kesimpulan ini tidak dapat dikatakan salah sepenuhnya. Jika diruntutkan beberapa motif yang mungkin melatar belakanginya.Â
Kemenangan kotak kosong, bisa diindikasikan sebagai bentuk pemberontakan masyarakat. Penyebabnya bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, begitupun dengan sasaran tujuannya. salah satu asumsi yang dapat dimunculkan terkait penyebabnya adalah ketidak setujuan masyarakat terkait pilihan yang tersedia, maka sasaran yang dituju adalah calon yang tersedia. Kemungkinan penyebab lain adalah sistem atau kejadian yang melatarbelakangi fenomena tersebut, maka sasarannya adalah pembuat kebijakan sistem tersebut.
Dalam kasus di Makasar, sebelum di diskualifikasi pasangan Danny Pomanto dan Indira Mulyasari, Pilwalkot Makasar diikuti oleh dua pasangan calon, Diami (Danny dan Indira) dan Appi Cicu (Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi).Â
Pasangan Danny-Indira yang merupakan petahana didiskualifikasi karena dianggap melanggar pasal 71 ayat 3 yang berbunyi "Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih." Sehingga apa yang terjadi di Makassar dapat dikatakan sebuah fenomena yang tidak lahir diruang kosong.Â
Terdapat kejadian yang melatarbelakangi perilaku masyarakat dengan memilih kotak kosong. Kemungkinan-kemungkinan tersebut dapat dijadikan pelajar tidak hanya di Makassar tetapi juga di daerah-daerah lain. Para kandidat yang akan bertarung pada pemilu 2019, untuk tidak lagi memancing masyarkat yang sudah pandai dengan manuver-manuver yang justru tidak hanya merugikan secara pribadi tetapi juga pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H